Dikibuli George J. Adicondro

Setiap penulis buku saat ini dipastikan sudah dapat memprediksi berapa kira-kira keuntungan yang bakal diperoleh George J. Aditjondro (GJA). Andai buku “Membongkar Gurita Cikeas” dijual Rp 50.000 per eksemplar dan lalu 100.000 eksemplar saja, dengan royalti 15%, GJA bakal meraup keuntungan Rp 750.000.000,-. Hampir satu miliar!

Padahal isi buku yang penuh kontroversial itu hanya “setumpukan” kliping yang ditata ulang ke dalam rangkaian kalimat. Tidak lebih. Bahkan nyaris tidak ada data/keterangan pendukung yang bernilai ilmiah. Sementara di pelbagai sudut media massa, buku tersebut senantiasa dijadikan fokus bahasan, yang seolah suatu fakta peristiwa yang valid kebenarannya.

Terlepas dari persoalan isi, dari sistem bisnis, polemik yang menerpa buku itu jelas merupakan berkah. Berkah bagi GJA, berkah bagi penerbit, berkah bagi distributor, berkah bagi toko buku, berkah bagi pengecer, serta berkah bagi usaha fotocopy. Pendek kata, dalam polemik tentang terbit karya tulis yang menyoroti aliran dana bailout Bank Century, dapat dikatakan menguntungkan banyak pihak.

Namun, bagi mereka yang penasaran dan syahwat karena keinginan untuk segera mendapatkan buku itu, Penulis yakin bakal merasa dikibuli. Tidak ada data yang baru. Persis seperti kata kalangan pengamat komunikasi massa, buku tersebut tidak lebih dari “akal-akalan”, guna mengais keuntungan di tengah booming skandal Bank Century. Tatanan redaksional yang memikat, memang salah satu daya tarik tersendiri, menyebabkan peristiwa yang diungkap di dalamnya seolah merupakan fakta-fakta yang sebenarnya.

Sebenarnya, daripada disebut karya ilmiah, buku itu lebih pantas dinobatkan sebagai best seller untuk kumpulan kliping koran. Sebab sumber-sumber data/keterangan lain yang dijadikan landasan tulisan, bukan produk legal-formal yang memiliki nilai pembuktian. Itulah sebabnya, mengapa ketika LKBN Antara berkoar bakal menyomasi GJA, mantan dosen Universitas Satya Wacana menyatakan, siap merevisi atas isi bukunya itu. Tentunya setelah penulis bersangkutan menerima data/keterangan pembanding.

Revisi Makin Laris
Sudah merupakan sifat dari pasar, ketika buku yang pertama laris, maka buku hasil revisi tentu bakal laris pula. Sebab perilaku konsumen selalu ingin melakukan komparasi apa perbedaan atau kesalahan yang telah diperbuata GJA, sehingga harus merevisi bukunya itu. Jika hal itu yang terjadi, tentu saja pundi-pundi kekayaan GJA bakal semakin menumpuk. Demikian pula dengan keuntungan yang bakal diperoleh pihak-pihak yang terdampak terbitnya buku tersebut.

Sementara media massa, facebooker, blogger, termasuk berbagai media komunikasi massa lainnya, sibuk membahas tentang isu yang diangkat. Bahkan di kalangan para blogger sudah terasa adanya kubu sana dan kubu sini. Membela GJA atau mendukung Cikeas. Penulis yakin, GJA dan penerbitnya, senyum-senyum melihat pola tingkah masyarakat Indonesia saat ini. Begitu mudahnya mereka dikibuli.

Kubu yang berada di sisi GJA, mati-matian membelanya dengan menyatakan tindakan Kejaksaan Agung, yang untuk sementara melarang beredar buku itu, sebagai perbuatan melanggar HAM, represif, dan sebagainya. Sedangkan yang menjadi simpatisan pihak Cikeas, memberi saran agar GJA dipidanakan saja. Dasar pemikirannya, agar kalau buku itu sudah dinyatakan berisi banyak fitnahan, segera dapat dibuktikan dan diketahui publik yang dimungkinkan saat ini telah terkontaminasi ketidakbenaran informasi dimaksud.

Dan, GJA sendiri, seolah ingin mempertahankan pendapatnya itu, kepada berbagai media massa menyatakan siap untuk dihukum. Ia menegaskan, tidak takut untuk dihukum. Maka, strategis pemasaran yang komprehensif serta meliputi berbagai lapisan atau segmen pasar, telah terpenuhi. Sudah klop-lah. Baik itu menyangkut unsur kualitas produk itu sendiri (product), unsur tempat pemasaran yang mudah dijangkau konsumen (place), unsur harga produk yang tak terlalu mahal (price), dan unsur popularitas dari produk bersangkutan di benak konsumen (positioning).

Bawa Kalkulator
Hari-hari belakangan ini, banyak pihak yang terkait penerbitan karya tulis pria kelahiran 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah, selalu membawa kalkulator. Benak mereka sudah tak mampu lagi membayangkan keuntungan yang bakal diraih, jika nantinya Kejaksaan Agung memutuskan untuk tidak melarang beredarnya buku itu. Bila perlu, bagi yang masih percaya dukun, mereka bakal ramai-ramai meminta tolong agar petinggi hukum yang tengah memeriksa/meneliti buku itu “jatuh hati” dan meloloskan.

Masih Mudah Tergoda
Imbas kekalahan beberapa pihak dalam pemilu lalu, baik di legislatif maupun pilpres, bisa jadi menjadi motor penggerak –untuk tidak disebut provokator– dalam eforia demokrasi saat ini. Itu tidak salah. Dalam suasana kerugian besar, karena telah mengeluarkan dana kampanye tidak sedikit, serta situasi hati yang masih penuh kekecewaan, marah, malu, dan kegelapan kalbu yang lain, semua itu menjadi wajar terjadi. Kita semua wajib bersyukur daripada terjadi gerakan people power di Republik tercinta ini, sebagaimana saat ini mulai terlihat di Iran pasca pemilu.

Namun melihat antusiasme masyarakat untuk berburu buku “Membongkar Gurita Cikeas” tersebut, menunjukkan bahwa karakter warga bangsa ini masih begitu mudah tergoda. Apalagi judul dan kemasan buku itu begitu menantang sekaligus menarik minat konsumen. Era keterbukaan dan demkratisasi yang tengah tumbuh dan berkembang pada saat ini seakan menjadi ladang subur bagi karakter semacam itu. Banyak warga yang lebih mempertimbangkan faktor “isu yang berkembang” di masyarakat, daripada berpikir pada sisi “kualitas isi” atas produk yang dibelinya itu.

Sebagai pembanding, kita dapat melihat di seluruh statiun televisi swasta di negeri ini selalu ada acara infotaiment yang mengupas sudut-sudut pribadi para selebritis. Tayangan ini selalu memiliki rating tertinggi dan merupakan satu acara potensial untuk mendulang rupiah dari sektor iklan. Isinya, sulit untuk memilah-milah mana yang berita faktual dan mana pula berita yang hanya gosip. Tapi, hampir seluruh lapisan masyarakat mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bahkan bapak-bapak yang biasanya jarang bergosip pun terpikat. Ya, itulah Indonesia, negaraku juga.