Intisari agama, menurut Eric Fromm, adalah pengabdian. Dan, pengabdian itu adalah kecenderungan dasar manusia. Agama adalah sebuah sistem pengabdian yang dianut oleh sekelompok manusia. Karena hal ini merupakan kecenderungan dasar, maka setiap manusia tentu akan memilih salah satu dari berbagai obyek pengabdian.
Manusia tidak bisa menghindari dan hanya bisa memilih berbagai jenis obyek pengabdian, misalnya ras, negara, bangsa, kekayaan, kekuasaan, seks, klan, dan lain-lain (Soejono Soemargono, 1996). Namun, dalam iman Islam maupun Kristen dengan tegas menolak segala bentuk berhala-berhala, apa pun bentuknya. Karena yang demikian itu berarti telah bertindak menyekutukan Allah, padahal Ia adalah Esa, Tunggal, dan tidak terbagi-bagi.
Allah dalam firmannya Q.S. Al-Furgon ayat 3: “Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan”.
Seperti juga firman Allah melalui nabi-Nya Yesaya: “Aku ini (Allah), itulah nama-Ku. Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain, atau kemasyhuran-Ku kepada berhala (Yesaya 42:8). Kita tidak pernah memuja salib atau mengagung-agungkan intelektualisme, filsafat, atau bentuk-bentuk lain dari hikmat duniawi (Wahyu 4:11).
Berkenaan dengan keyakinan atas nilai-nilai sebagai panutan, ada baiknya kita kutip pendapat Franz Magnis-Suseno yang dalam bukunya ia berpendapat, kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena ia dalam segala-galanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin.
Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya. Manusia tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri, melainkan terbentuk oleh peranan yang ditimpakan oleh masyarakat. Manusia dapat juga tidak, atau kurang otentik dalam cita-cita dan nilai-nilainya itu (Franz Magnis-Suseno, 1989).
Memiliki Pilihan Hidup sebagai Misi
Bila sudah sepakat dengan apa yang telah terurai di atas, maka pada bagian ini pembahasan lebih mengerucut mengenai soal pilihan hidup sebagai misi. Singkatnya, tentang apa misi hidup kita? Untuk menjawab pertanyaan itu, berarti kita berhadapan pada pilihan-pilihan jalan hidup yang bakal bermuara pada definisi-definisi kesukseskan menurut ukuran masing-masing pribadi.
Dan, bertolak dari definisi kesuksesan hidup itulah bagi sosok manusia bersangkutan, akan difungsikan untuk menerjemahkan atau menafsirkan seluruh problema hidup bagi tindak lakunya demi memenuhi semua kebutuhan dan kepentingannya. Dengan demikian, misi hidup bagi kehidupan manusia merupakan fundamen dasar yang wajib dimiliki.
Memiliki misi hidup berarti kita telah mempunyai rel, yakni jalur yang akan dilalui dalam menjalani hidup. Seperti telah disinggung terdahulu, misi hidup yang ditetapkan tentu harus sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diyakini. Sehingga kita dapat tampil utuh, apa adanya, dan bukan tampilan yang tokenistik (baca: seolah-olah seperti).
Untuk memenuhi tuntutan seperti itu sama artinya dengan mewajibkan kita untuk senantiasa memiliki informasi-informasi yang relevan dengan misi hidup. Atau, dengan kalimat lain mengharuskan pada diri kita untuk selalu dan selalu menambah ilmu pengetahuan. Maka, adalah suatu kebohongan besar andai seseorang menganggap dirinya memiliki misi hidup, jika pada kenyataannya ia tidak suka mencari ilmu,. Setidaknya ilmu yang sesuai dengan bingkai misi hidup yang ditetapkannya.
Dua arus gelombang besar yang dapat dinyatakan sebagai paradigma untuk memotret pilihan-pilihan misi kehidupan di planet ini adalah, kesuksesan secara dlohiriyyah, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik-materialistik. Atau, kesuksesan menurut ukuran batiniyyah, yaitu terakomodasikannya kepentingan-kepentingan kejiwaan yang berorientasikan pada kebahagiaan-kebahagiaan keakheratan atau ukhrowiyyah. Dalam konteks ini kita tidak membutuhkan perdebatan-perdebatan berkait dengan penempatan kedua paradigma tersebut di atas secara diametral. Pernyataan itu didasarkan pada suatu kenyataan, dengan berkiblat menurut pandangan sekalian agama, bahwa kehidupan ini terbelah menjadi dua bagian, yakni alam mayapada (dunia khayalan) dan alam marcapada (dunia nyata).
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah Muhammad menyatakan: “Barangsiapa menyintai dunia, maka akan tercecer urusan akhiratnya. Dan barangsiapa menyintai akherat, maka akan kuranglah dunianya. Pilihlah yang kekal daripada yang cepat rusak”.
Kaidah normatif sedemikian itu telah dibuktikan oleh berbagai kalangan. Sebab hal itu memang merupakan pilihan-pilihan hidup, yang masing-masing tidak memiliki hak untuk mencampurinya. Orang tidak dilarang menjadi kaya, menjadi pejabat tinggi, populer, sehingga mendapat julukan sebagai public figure. Atau, orang pun diperkenankan menetapkan dirinya menjadi pencari ilmu (ulama), menjadi pendeta, romo pastur, dan sebagainya, yang misi hidupnya semata demi dunia keakheratan. Karena itu, ia abdikan dirinya bagi pelayanan Tuhan.
Dibunuhnya sekalian syahwat keduniawian, demi ditemukannya kekayaan dan kesuksesan batin. Kita bisa melihat riwayat hidup seluruh pada Nabi/Rasul, maupun orang-orang seperti Abu Bakar As-Siddiq, Imam Al-Ghazali, Mahatma Gandhi, Ibu Theresa, serta banyak lagi sederetan nama orang yang meninggalkan kenikmatan duniawi.
Ketika misi hidup sudah ditetapkan, tidak berarti akan bakal menjadi dosa ketika dalam perjalanan waktu kita merasa perlu untuk mengubah arah. Maksudnya, bisa saja terjadi pada setiap orang, yang semula ia menetapkan misi hidupnya demi kebutuhan dunia semata, kemudian karena adanya pengalaman hidup tertentu, berubah menjadi pengabdi keakheratan. Sebaliknya bisa saja terjadi, seseorang disebabkan senantiasa dirundung kemiskinan ia menetapkan dirinya sebagai abdi Tuhan semata. Namun, ketika ada perubahan nasib hidup yang relatif menjadi berkecukupan, diubahnya haluan arah kehidupannya menjadi pengabdi keduniawian. Fluktuasi arus berpikir demikian itu adalah wajar dan manusiawi. Hal itu menunjukkan bahwa manusia itu independent (tidak tergantung/bebas), dan bukan dependent (tergantung/tidak bebas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar