Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Kamis, 02 September 2010

Andai Aku Polisi Diraja Malaysia # 2

Peristiwa pelanggaran gencatan senjata (baca: perjanjian Hudaibiyah) terjadi tatkala kabilah Bakr menyerang Bani Ka'b di wilayah Khuza'ah, yakni suatu kaum yang berada dalam perlindungan Rasulullah Muhammad Saw. Kafir Quraisy terlibat penyerangan itu, tidak hanya dengan memberi bantuan persenjataan, tapi juga terlibat pertempuran yang terjadi pada malam hari itu. Akibatnya penyerangan itu, seorang warga Bani Ka'b meninggal dunia.



Nabi Muhammad Saw menerima laporan perihal itu. Ia pun mengambil air wudhu. Abu Sufyan, salah satu pemimpin kafir Quraisy dari Syiria, juga setelah mengetahui bahwa Nabi mengetahui peristiwa pelanggaran itu, segera menuju ke Madinah. Maksudnya, tatkala Abu Sufyan telah menghadap Rasulullah, ia berkata: "Wahai Muhammad, aku tidak hadir pada saat perjanjian Hudaibiyah tersebut, maka marilah kita sekarang memperkuat perjanjian tersebut dan memperpanjang masa berlakunya."

Spontan Nabi menjawab: "Bukankah pihakmu yang melanggar perjanjian tersebut?". "Tuhan melarangnya!" kata Abu Sufyan tegang. Nabi melanjutkan, "Demikian pula kami, menjaga gencatan senjata sampai ada periode yang ditentukan pada Hudaibiyah. Kami tidak akan mengubahnya, tidak pula menerima perubahannya". Nabi tegas tegas-tegas tidak mau membicarakan tentang pecahnya perjanjian Hudaibiyah.

Melihat penolakan Rasulullah, Abu Sufyan yang masih terbilang kerabat sang Nabi itu, pergi menemui putrinya Umm Habibah. Ia berharap putrinya yang telah menjadi muslim itu mau menjembatani (baca: selayaknya diplomat) untuk turut campur berkenaan dengan pecahnya perjanjian Hudaibiyah, namun gagal. Ia pun lalu menemui Abu Bakr dan sahabat-sahabat Rasulullah yang lain, tapi hasilnya sama. Abu Bakr bahkan tegas menjawab: "Aku menjamin perlindungan hanya sesuai dengan yang dijamin oleh Rasulullah".

Gagal dengan membujuk Abu Bakr, Abu Sufyan pun menemui Ali, dengan harapan yang sama mengingat keduanya sama-sama keturunan dua bersaudara, Hasyim dan Abd. Al Syams. Namun Ali menjawab, "Kasihan engkau hai Abu Sufyan! Rasulullah telah memutuskan untuk tidak menerima permintaanmu, dan tidak ada seorang pun yang berani berbicara kepadanya untuk memenangkan sesuatu yang telah beliau putuskan". Abu Sufyan pun berpindah menemui putri Rasulullah, Fathimah yang saat itu tengah bersama anaknya Hasan.

"Wahai putri Muhammad, tawarkan putramu untuk memberikan perlindungan kepada setiap orang, ia akan menjadi raja kaum Arab selamanya", kata Abu Sufyan kepada Fathimah. Tapi istri Ali itu spondan menjawab, bahwa anak kecil tidak dapat memberikan perlindunga. Putus asa, Abu Sufyan kembali menghadap Ali. Tapi menantu Rasulullah mengatakan kepada kerabarnya itu, "Aku lihat tidak ada lagi yang dapat kaulakukan".

Nabi pun segera mempersiapkan pasukannya untuk memasuki kota Makkah. Khalid ibn Walid bersama pasukan berkuda Sulaym. Kemudian disusul Zubayr, berjubah kuning mengepalai tiga ratus tentara Muhajirin. Pasukan terakhir adalah pasukan Nabi, seluruhnya dari Muhajirin dan Anshar. Meski memimpin pasukan yang besar, tapi Nabi melarang kepada mereka untuk bertempur. Namun peperangan kecil tetap pecah tatkala beberapa kafir Quraisy, yakni Ikrimah, Shafwan, dan Suhayl mengerahkan tentaranya untuk menghadap dan menyerang pasukan pimpinan Khalid ibn Walid.

Atas peristiwa pertempuran kecil itu Rasulullah menegur, "Bukankah kalian kularang bertempir?". Para sahabat menjelaskan, bahwa penyerangan itu dilakukan terlebih dulu oleh pihak lawan yang mengakibatkan salah seorang muslim syahid. Sementara pihak kafir Quraisy kehilangan tiga puluh orang. Ikrimah dan Shafwan melarikan diri, sedangkan Suhayl berlari ke rumahnya dan mengunci pintu.

Dari kisah di atas, kita dapat memperoleh teladan, bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap tatkala musuh melakukan tindakan melanggar perjanjian. Negara jiran Malaysia jelas-jelas telah bertindak arogan. Meski mereka serumpun dengan kita –seperti juga Rasulullah dengan para pemimpin kafir Quraisy– jika mereka melakukan tindakan layaknya kafir Quraisy semacam itu, Republik ini wajib bersikap, baik secara militer (baca: mempersiapkan pasukan perang) di samping melakukan upaya diplomasi dalam forum yang demokratis dan setara. (bersambung).

Tidak ada komentar: