Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Kamis, 02 September 2010

Andai Aku Polisi Diraja Malaysia # 1

Andai aku polisi Diraja Malaysia yang terlibat dalam insiden Tanjung Berakit, tentu aku terpingkal melihat reaksi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, dalam menyikapi peristiwa yang memalukan bagi kedaulatan suatu bangsa itu, para pemimpin Republik ini justru tidak menjadikan hal itu sebagai stimulator untuk menata barisan guna "melawan" Malaysia sebagai musuh bersama. Sebaliknya, malah ribut sendiri untuk saling menjatuhkan serta menyalahkan satu sama lainnya.


Anggota DPR-RI, misalnya Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PDI-P TB Hasanuddin menilai, Pemerintah Indonesia lamban dalam menyikapi insiden tersebut. Wakil Ketua DPR-RI dari Fraksi Golkar, Priyo Budi Santoso meminta Polri segera menangkap polisi Diraja Malaysia yang menangkap tiga petugas Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam pada Jumat, 13 Agustus lalu. Permintaan itu seolah Polri akan begitu mudah melaksanakannya, seperti gampangnya mereka melakukan rekayasa kasus Bibit-Chandra.

Sementara beberapa elemen masyarakat melakukan aksi anarkhis, tidak hanya membakar bendera negeri jirang itu, tapi juga melemparinya dengan kotoran manusia. Menanggapi hal itu sebagian masyarakat Malaysia juga bermaksud menanggapi dengan cara yang sama. Namun, jajaran kepolisian Diraja Malaysia mengeluarkan maklumat kepada semua warga negara Malaysia untuk tidak mengganggu warga negara Indonesia yang tengah menjadi pahlawan devisa. Bahkan terhadap KBRI dilakukan pengamanan yang ekstra ketat. Lo, koq?

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap? Pada zaman Rasulullah Muhammad Saw, pernah terjadi tindakan yang dapat dipersamakan dengan insiden seperti dimaksud. Tatkala itu terjadi pelanggaran atas perjanjian –yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah– yakni tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintahan kafir Quraisy terhadap pemerintahan Islam yang pada waktu itu berbasis di Madinah. Sebagai pimpinan pemerintahan Nabi Muhammad Saw mengambil sikap tegas, yakni membatalkan hubungan diplomatik atas dasar perjanjian tersebut, tanpa menimbulkan pertumpahan darah sampai jatuhnya kota Makkah kepada tentara muslim (fatkhul makkah).

Dan, sebagaimana telah menjadi kebijakan umum Rasulullah Muhammad Saw, dalam hal melakukan tindakan perlawanan terhadap musuh tetap dilarang membalas dengan tindakan yang melampaui batas. Termasuk dilarang merendahkan martabat kemanusiaan musuh, dilarang menyakiti utusan musuh, tidak boleh merusak segala bentuk properti musuh, dilarang membunuh musuh yang tidak menyerang, serta tidak menyakiti wanita dan anak-anak. (Bersambung)

Tidak ada komentar: