Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Sabtu, 16 Januari 2010

Aktualisasi Diri Dalam Desain Organisasi

Di bidang organisasi bisnis kita mengenal asumsi-asumsi manajerial tentang sifat manusia berkenaan dengan pekerjaannya. Asumsi-asumsi semacam itu, menurut Edgar H. Schein (1983), mengemuka sebagai konsekwensi dari kompleksitas sifat manusia pada dimensi psikologi. Sebab itu, seorang pimpinan senantiasa diliputi pertanyaan berhubungan dengan kepercayaan tentang situasi maupun orang-orang yang berada dalam situasi itu.



Asumsi pertama, misalnya menjelaskan kepada kita, jika seorang pengusaha yakin bahwa ia tidak mungkin percaya bila orang lain akan bekerja keras dengan kemauannya sendiri, maka ia akan membangun organisasi dengan pengendalian yang ketat untuk memastikan bahwa para pekerja masuk bekerja pada waktunya dan diselia dengan ketat.

Namun, pada asumsi kedua, bisa saja terjadi seorang pengusaha meyakini bahwa orang bekerja karena menyenangi suatu produk tertentu dan merasa dirinya menyatu dengan produk itu. Dan, oleh karenanya ia akan memperlihatkan gaya manajemen yang mendorong timbulnya rasa ikut memiliki dan menyatu dengan perusahaan. Mungkin pengusaha ini akan membagi-bagikan sediaan, mendorong otonomi pekerja, dan lebih mempercayai disiplin diri daripada penyeliaan yang ketat.

Asumsi-asumsi awal semacam itu sangat mempengaruhi dalam membuat desain perangsang, imbalan, dan pengendalian. Oleh sebab itu, tepat tidaknya asumsi-asumsi itu akan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam mendesain organisasi. Bidang psikologi organisasi ini erat sekali kaitannya dengan suatu tradisi dalam psikologi sosial yang menelaah tentang bagaimana orang mengenal situasi, menghubung-hubungkan kausalitas guna memberikan arti pada situasi, dan bagaimana sikap serta nilai-nilai pribadi mempengaruhi persepsi dan sifat-sifat mereka.

Pribadi Sukses dan Motif Sosial
Demikian halnya dalam konteks pribadi sukses, yang sekaligus merupakan kemenangan publik, sebenarnya secara tak langsung telah menempatkan seseorang pada posisi manajer. Sebab dalam kaitan eksistensinya yang sudah memiliki positioning adalah sudah seharusnya dituntut memiliki kemampuan mengelola secara manusiawi seluruh sumber daya yang ada, baik berupa manusia maupun modal. Pribadi seperti itu tidak boleh lagi terjebak oleh asumsi-asumsi sebagaimana dikemukakan oleh kalangan pakar, berkenaan dengan perilaku pribadi manusia yang seringkali digambarkan dalam bingkai konklusi-konklusi yang masih perlu dipertanyakan kembali mengenai validitasnya. Hal itu memberi makna bahwa sebagai pribadi yang telah memiliki kemenangan diri, maka pribadi sukses itu wajib bahkan harus mumpuni dalam pengelolaan dan memanajemeni diri dengan keyakinan yang utuh.

Pendapat terakhir di atas memberikan gambaran, seseorang pribadi dinyatakan sebagai pribadi sukses bila dari sosok dirinya dapat terwujud “aktualisasi diri” yang menggambarkan keutuhan sosok, keutuhan etika watak, serta keutuhan keyakinan diri. Dan, dari ketiga unsur “keutuhan” tersebut, sudah tentu selanjutnya dapat mewujud dalam pribadi yang tak lagi dihantui dalih-dalih kegagalan. Yang tidak lagi terperosok dalam kubangan angan-angan. Sebab angan-angan merupakan kegamangan yang senantiasa berjalan beriringan dengan kegagalan.

Pada pribadi sukses tidak ada lagi kamus kegagalan, ketidakberhasilan, maupun ketakutan-ketakutan yang menghantui tekadnya, karena ia telah bertindak. Ia tekah bersikap. Berbuat sesuai dengan apa yang telah diprogramkan dengan perhitungan-perhitungan matang, serta memiliki fokus sebagai titik sasaran atau goal dengan tepat dan cermat. Dengan kata lain, seperti kisah Panglima Pasukan Sekutu, Dwight Eisenhower, ketika akan mulai penyerangan ia menasihati kepada seluruh pasukannya, bahwa semua persiapan sudah matang 99%. Dan kemenangan sudah ada di depan mata. Yang tersisa hanya 1%, yaitu kehendak Tuhan.

Penelaahan Hawthorne, seperti dikutip Edgar H. Schein, mengungkapkan adanya motif-motif sosial dalam kehidupan organisasi. Dikatakannya, pada kenyataannya kebutuhan untuk diterima dan disukai teman sekerja mungkin lebih penting daripada perangsang ekonomi yang diberikan oleh manajemen (Roethlisberger & Dickson, 1939; Homans, 1950). Orang akan sering menentang bila ditempatkan pada kedudukan bersaing dengan orang-orang lain. Bahkan, orang mungkin akan mengatasi ancaman persaingan yang mengkhawatirkan itu dengan baik, melalui cara menggabungkan diri pada orang-orang lain untuk menghadapi ancaman itu. Asumsi ini memperkuat dugaan bahwa pada setiap diri manusia itu selalu ada dorongan untuk bersahabat, berteman baik, saling tolong-menolong, dan seterusnya dalam bentuk-bentuk perilaku positif.

Dengan tetap mempertimbangkan kepentingan diri sendiri, seseorang tetap harus melihat secara obyektif terhadap situasi sosial yang ada di sekitar. Sebab bagaimana pun hebatnya sosok seorang manusia, menjadi tidak memiliki makna bila dirinya tidak lagi mendapatkan penghargaan dari masyarakat sosialnya. Aktualisasi diri seseorang dapat terwujud dikarenakan orang-orang disekitarnya mengakui serta memberikan penghargaan secara benar terhadap keberadaan kita. Itulah yang dimaksudkan dengan wujud kemenangan sosial.

Bukan sebaliknya! Misalnya, kita dapat menemukan atau melihat contoh perilaku beberapa orang yang telah menganggap dirinya sebagai “pribadi sukses”, dengan tingkah laku dan sikap yang cenderung sombong, seenaknya sendiri, atau suka mencium pantat atasan, dan sikap-sikap lain yang memalukan. Kepribadian seperti yang digambarkan terakhir ini sama sekali tidak menunjukkan pribadi sukses, tapi lebih sebagai pribadi yang sedang sakit!

Tidak ada komentar: