Kaidah dasar untuk mendapatkan keberhasilan, kata David J. Scwartz dalam bukunya, goreskanlah dalam pikiran dan ingatlah: “Sukses bergantung pada dukungan orang lain”. Satu-satunya penghalang di antara kita dan apa yang kita inginkan adalah dukungan orang lain.
Ada masa dalam sejarah ketika orang dapat memperoleh jabatan pemimpin melalui kekuatan, dan mempertahankannya dengan kekuatan dan/atau dengan ancaman kekuatan. Pada masa itu seseorang orang boleh memilih bekerja sama dengan si “pemimpin” atau menanggung risiko kehilangan kepalanya. Akan tetapi sekarang ini, orang menyokong kita secara sukarela atau ia tidak menyokong kita sama sekali. Lalu, bagaimana membuat orang lain menyokong dan menerima kepemimpinan kita? Jawabannya adalah: “Berpikir benar tentang orang lain!”
Bertolak dari pemikiran terakhir semakin jelaslah, bahwa antara pribadi sukses dengan masyarakat sosial terdapat keterkaitan yang erat. Bahkan dapat dikatakan, tanpa keberadaan masyarakat, eksistensi pribadi sukses itu tidak ada artinya. Berkenaan dengan itu maka kemenangan pribadi memiliki konsekwensi harus mampu menciptakan kemenangan publik. Secara ekstrem seorang pribadi sukses dapat dinyatakan berkewajiban mampu “mengendalikan” dinamika sosial masyarakat yang ada di sekitarnya dalam menggapai kesejahteraan.
Itulah sebabnya ia memiliki tugas berat. Sebab pada dasarnya ia bukan lagi milik dari dirinya sendiri, tapi sudah menjadi milik masyarakat. Dan itulah seorang pemimpin! Pada dirinya setiap orang tidak hanya mengharapkan suri-tauladan dari setiap langkah dan perilakunya, lebih dari itu termasuk juga pikiran-pikirannya, pandangan-pandangannya, dan sebagainya yang berkenaan dengan eksistensi dirinya.
Format Sempit
Persepsi awam selama ini tentang pribadi sukses memang selalu berada pada format yang sempit. Sebagaimana telah disinggung daam tulisan terdahulu, orang selalu dianggap sukses ketika telah mencapai popularitas dengan ditandai sederetan kekayaan, tingkat jabatan karir pada level tertentu, dan seterusnya, yang nyaris sama sekali tidak memperhatikan sisi moralitas. Dan, bila sisi ini yang dicermati, ternyatalah bahwa pribadi sukses itu masih dikotori dengan setumpuk persoalan moral, seperti antara lain keterlibatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), atau penyalahgunaan narkoba, atau skandal seks, dan sebagainya.
Untuk menutupi segala sisi negatif perilaku semacam itulah, kemudian tak jarang seseorang tampil di depan umum dengan berbagai atribut yang memberi kesan sebagai orang alim, orang taat beragama, sekaligus sebagai orang dermawan, sehingga setiap kali melakukan aksi sosial selalu mengundang wartawan agar dipublikasikan. Kita bisa melibat cerminan perilaku semacam itu dalam akting anggota Pansus Bank Century.
Kalau boleh disebut sebagai “penyakit”, maka perilaku seperti itu tidak hanya terbatas menghinggapi kalangan pemimpin formal, namun merasuki pula pada kalangan pemimpin non-formal, seperti kyai, pendeta, romo pastur, serta tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Perilaku-perilaku semacam itu memang masih dapat diberi nilai wajar jika disoroti dalam bingkai kemanusiaannya.
Maksudnya, tindakannya itu merupakan perilaku wajar bagi sosok manusia, yang memang telah memiliki potensi dasar alamiah, yakni desire (rangsangan) untuk berbuat sesuatu yang sekadar menuruti hawa nafsu syahwatnya, yakni demi kebutuhan perut dan dorongan seksnya. Yang menjadikannya tidak wajar dan tampak bodoh, adalah ketidakmampuannya mengkombinasikan antara tingkat ilmu yang dikuasainya dengan praktik perilakunya. Seharusnya ada keseimbangan.
Menurut kata bijak, yang membedakan manusia dengan binatang adalah ilmu pengetahuan. Itu sebabnya manusia diharapkan bertindak menurut kedalaman ilmunya, karena binatang senantiasa bersikap sekadar menuruti naluri atau instingnya.
Mengikuti alur logika di atas, sudah tentu menjadi sangat membingungkan bila kita diharusnya mengikuti perilaku pemimpin yang “bukan” manusia –karena kita takut divonis tidak sopan jika secara terus terang menyatakan: “Kita tidak patut mengikuti pemimpin yang tidak lebih dari seekor binatang!”. Tapi paling tidak kita telah menyadari serta memahami tentang bagaimana sosok pribadi sukses memiliki sikap kepemimpinan sosial itu.
Meski tetap diakui pula bahwa tidak ada manusia sempurna. Namun, ketiadaan akan kesempurnaan manusia tersebut bukanlah berarti memberikan alasan pembenar bagi kita untuk bertindak negatif, sekadar menunjukkan bahwa kita bukan makhluk sempurna. Andai pola pikir yang terakhir ini menjadi landasan dan alasan kita untuk bersikap, maka sebenarnya pada detik itu pula kita berhenti berpikir. Sebab, ternyata kita hanya mengandalkan naluri atau insting semata! Seperti binatang!
Potret Kemenangan Publik
Ketika kita mendengar nama Soekarno, atau nama-nama orang terkenal lainnya, selalu saja dibenak kita tergambarkan wujud seseorang yang berdiri dengan gagah, berpenampilan rapi, serta dihiasi sunggingan senyumnya yang menyejukkan hati. Setiap orang yang berhadapan dengan orang seperti itu akan senantiasa berpikir, bagaimana agar dirinya dapat tampil seperti tokoh idolanya tersebut. Untuk harapan demikian ini, meski tidak harus sama persis, ia akan mencoba untuk meniru-niru, mulai dari tata busanyanya, gaya bicaranya, atau bahkan perilakunya.
Duplikasi sikap semacam itu sangatlah wajar dan manusiawi. Beberapa orang besar dan sukses di dunia ini sebenarnya juga terinspirasikan oleh kebesaran dan keberhasilan orang lain yang menjadi tokoh idolanya. Demikian pula yang dilakukan oleh tokoh idolanya itu.
Untuk mencapai sukses seseorang tidak hanya dituntut memiliki satu sikap yang terpuji dan positif, misalnya perilaku jujur. Lebih dari itu harus pula mempunyai sikap-sikap dan perilaku lain yang positif seperti senantiasa berpikir menang-menang, lebih suka bertindak sinergis, produktif, kreatif, inovatif, dan yang terpenting adalah senantiasa berwatak religiusisme.
Dengan demikian, untuk memenuhi harapan-harapan terakhir ini, terhadap sosok yang mencita-citakan kesuksesan dan keberhasilan sebagai wujud kemenangan pribadi sekaligus sebagai potret kemenangan publik, dituntut detik demi detik untuk berpikir dan menambah ilmu. Sebab itu proses pembelajaran diri bagi pribadi yang seperti itu adalah proses yang berlangsung terus-menerus. Bahkan dapat dinyatakan bahwa proses belajar itu tidak akan pernah berhenti, kecuali manusia tersebut telah mati! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar