Pada dasarnya setiap jiwa memiliki “a pervasive amorphous mood” atau apa yang dipahami sebagai suasana hati yang menggejala. Dengan keadaan seperti itu manusia akan senantiasa bergerak, dalam konteks dinamisasi sosial sejalan sesuai niat dan tujuannya. Bagi pribadi sukses niat dantujuan tersebut haruslah dalam bingkai yang positif, sehingga mampu menjadi cermin perilaku sekaligus pembentuk integrasi pribadinya sebagai makhluk sosial. Pribadi demikian telah mewujudkan dirinya sebagai sosok panutan, seperti para nabi dan guru-guru spiritual, yang rela berkorban serta berani mengabdikan kehidupannya untuk kehidupan lain.
Dalam makna demikian kehidupan sosok bersangkutan telah menjadi milik sekaligus melengkapi kepentingan publik. Suatu model yang sebenarnya merupakan kodrat dasar dari eksistensi manusia itu sendiri. Mengutip pendapat Konfisius, “Jika inti diri kita yang benar dan harmoni diwujudkan, alam semesta akan menjadi suatu keseluruhan yang terpadu dan segala sesuatu akan bertumbuh semarak dan berkembang.” (To Thi Ah, 1985).
Mewujudkan diri dalam potret seperti digambarkan di atas, memang tidak gampang. Di tengah tumbuhnya nilai-nilai baru, selaras dengan terjadinya proses dinamika serta dialektika perilaku sosial yang semakin mengglobal seperti saat ini, diakui atau tidak telah mengetengahkan kompleksitas permasalahan kepribadian manusia. Setiap sosok individu secara terus-menerus, telah tersistemasikan oleh gerakan mekanistis arus modernisme yang bercorak kapitalistik. Banyak di antara kita tidak kuat menahan, hingga terpental dari orbit nilai-nilai humanistis-egalitarisme.
Bagi individu yang terjebak dalam tatanan nilai baru dengan corak individualistis, semakin sulit menggenggam nilai-nilai dasar. Mereka memiliki anggapan bahwa nilai-nilai dasar itu tak lebih dari utopia semata, seolah memberikan penghargaan bagi kemanusiaan, yang ternyata hanya melahirkan keyakinan semu.
Menurut Yasraf A. Piliang (1994) dalam sebuah artikelnya menulis, manusia semacam itu kehidupannya sebenarnya berada dalam sistem kendali realitas-realitas sosial, kebudayaan, atau politik berlandaskan model-model (peta) fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintang-bintang layar perak, atau tokoh-tokoh kartun. Adalah tempat-tempat seperti Disneyland, Las Vegas, Stadion Wembley, bintang film seperti Madonna, atau tokoh kartun seperti Mickey Mouse dan Doraemon yang menjadi model dalam membangun citra-citra, nilai-nilai dan makna-makna dalam kehidupan sosial, kebudayaan, atau politik.
Kenyataan hidup yang tengah tumbuh dan berkembang saat ini, telah terjadi semacam “ketidaksadaran massal” akan terjadinya transformasi, akan berlangsungnya pembentukan kembali diri, dan perumusan kembali makna kehidupan sebagai akibatnya menjelmanya dunia “realitas semu”. Dalam percepatan deru mesin kapitalisme mutakhir, apa yang disebut “diferensial” –suatu proses membantu identitas berdasarkan perbedaan produk, gaya dan gaya hidup- menjadi satu kata kunci dalam wacana kapitalisme. Ia menjadi ideologi dari kapitalisme mutakhir itu sendiri.
Kata “tua” menjadi sebuah kata yang bagaikan wabah lepra. Maka, proses “peremajaan” melalui diferensiasi seakan menjadi semacam keharusan dalam wacana kapitalisme. Pusat kebugaran, jogging, kursus kecantikan, senam seks, kursus kepribadian, salon mobil, pusat penjualan –semuanya merupakan manifestasi dari trauma kapitalisme terhadap ketuaan dan kegairahannya pada peremajaannya.
Bertolak dari realitas kehidupan yang tergambar di atas, semakin nyatalah bahwa kehadiran sosok pribadi sukses sekaligus “utuh” menjadi suatu keniscayaan sosial yang sangat dibutuhkan. Karena tampilannya bukanlah sosok yang sekadar “tanda” bagi subyek yang telah terkooptasi oleh nilai-nilai modernitas semu, tapi sebaliknya justru sebagai pribadi yang pantas menjadi panutan sekaligus sumber nilai itu sendiri.
Dengan demikian secara singkat kata dapatlah dinyatakan, bahwa eksistensi dari sosok pribadi sukses bukanlah semata kemenangan bagi dirinya sendiri, namun juga merupakan kemenangan publik. Kehadirannya dalam tatanan sosial adalah penyempurna bagi dinamika kehidupan bermasyarakat, baik di bidang dunia karirnya maupun menyangkut pergaulan sosialnya. Maka, kehadirannya dapat dinyatakan sebagai wujud dari integrasi sosial yang sebenarnya. Dan, bukan sebuah realitas semu! Bukan subyek tokenistik!
Kepemimpinan Sosial
Melengkapi kesempurnaan sosok pribadi sukses berikutnya adalah menyangkut kemampuan memimpin. Tegasnya memiliki jiwa kepemimpinan sosial. Yang dimaksudkan adalah kemampuan mengelola sumber daya, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya-sumber daya yang lain, seperti modal dan kekayaan alam, secara lebih manusiawi serta berkeadilan.
Itu artinya, dapat disimpulkan bahwa terhadap pribadi sukses dituntut mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang ada di seputar dirinya untuk dikelola dalam sistem manajemen yang interaktif. Memiliki kepekaan terhadap perubahan-perubahan sekaligus mempunyai fungsi pendorong bagi orang-orang yang memiliki potensi. Pikiran-pikiranya senantiasa memberikan inspirasi untuk pertumbuhan dan pengembangan diri pribadi sekaligus masyarakat sosialnya.
Seorang pemimpin sudah tentu kehadirannya tidak sekadar sebagai sosok panutan, lebih dari itu harus pula mempunyai ciri-ciri atau kriteria yang sesuai. Ciri-ciri atau kriteria seorang pemimpin antara lain, memiliki keberanian untuk mengatakan “tidak”, mampu bekerja sama dengan siapa pun, serta senantiasa memahami bahwa tidak seorang pun di dunia ini yang diciptakan sempurna dan utuh.
Akan selalu ada orang yang dilahirkan dengan kemampuan pas-pasan, bodoh, suka iri dan dengki, serakah, atau suka mengeluh, bahkan tidak mengerti rasa terima kasih. Dan kesemuanya itu harus dapat dikelola, diintegrasikan, selanjutnya ditumbuhkembangkan menjadi potensi sumber daya yang bisa menghasilkan atau berproduksi. Bahkan terhadap konflik yang terjadi pun harus dapat dikendalikan sehingga menjadi potensi positif, dan bukan dihilangkan. Sebab pada dasarnya suatu konflik tidak dapat dihilangkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar