Setiap manusia memiliki potret diri. Secara harfiah, memiliki potret diri berarti seseorang itu mengetahui lebih detil mengenai sosok dirinya. Demikian pula dengan individu yang memahami potensi-potensi dirinya, sama artinya ia mengetahui potret diri menyangkut karakteristik, kepribadian, etika watak, dan kebiasaan-kebiasaan positif maupun negatif yang telah menjadi perilaku bawah sadar. Tugas berikut bagi orang demikian ini adalah, bagaimana ia dapat “menjual diri”-nya (personal selling) secara akurat dan tepat pada fokus sasarannya di medan kehidupan.
Berkebalikan dengan itu, adalah seseorang yang sama sekali tidak memahami dirinya sendiri, potensi-potensinya, maupun kekuatannya sebagai sumber daya manusia. Dan sosok manusia yang “buta” sama sekali tentang sumber dayanya sendiri, tentu akan berjalan meraba-raba dalam menjalani kehidupan ini. Akibatnya, apa pun yang menjadi fokus sasaran tidak memiliki target keberhasilan atau goal yang sempurna, bila tak dikatakan sulit meraih sukses. Mengapa? Logika sederhana dapat memperjelas argumen tersebut. Kalau titik pacu suatu pemikiran tidak memiliki kepastian, maka kesimpulan yang ditarik darinya tentu tidak memiliki kepastian pula. Bahkan mungkin, sama sekali salah.
Mengikuti alur logika di atas, tentu saja bagi seseorang yang mencita-citakan kesuksesan, tidak berkelebihan bila diwajibkan terlebih dulu agar memiliki kepastian. Yakni, kepastian mengenai landasan berpikir yang argumentatif, sehingga ada alasan pembenar yang cukup rasional sebagai sebuah kesimpulan dalam kerangka mewujudkan target yang telah ditetapkan.
Untuk dapat menetapkan suatu landasan berpikir yang proporsional, tidaklah dapat sekadar dipertaruhkan dengan sebuah angan-angan seperti orang memasang nomor undian. Dengan kata lain, seseorang itu harus mempunyai kesiapan yang utuh menyangkut faktor-faktor fisiologis, psikologis, dan sosiologis, sebelum dirinya mengambil langkah-langkah strategis dan taktis. Tindakan strategis dan taktis yang dimaksudkan adalah, menempatkan diri pada apa yang disebut dengan personal positioning dalam sistem sosial. Posisi seperti itu dapat dipahami seperti kedudukan seseorang yang mengenakan baju warna merah ditengah-tengah kerumunan massa berpakaian seragam putih. Tentu saja, ia bakal menjadi titik fokus perhatian utama.
Ditambahkan dengan kematangan berpikir, didukung kualitas dan kapabilitas intelektual yang memadai, sosok sedemikian bakal memiliki posisi tawar tinggi. Itu berarti pula, di tengah situasi persaingan dan kompetisi yang semakin tak terkendali, ia dapat tampil di garda depan bersiap menjadi eksekutif efektif. Dan, menurut Peter F. Drucker (1997), eksekutif efektif merupakan sosok yang berpedoman pada kekuatan di dalam pekerjaan mereka sendiri. Mereka membuat apa yang mereka kerjakan menjadi produktif.
Perhatikan cerita menarik di balik keputusan Candler Burke Hedges (2001), pemilik pertama kali produk minuman Coca-cola, untuk melakukan pengemasan dalam botol. Ia bercerita, pada suatu hari seorang teman datang kepadanya serta menyatakan, kalau ia diberi imbalan yang cukup, ia bersedia memberikan sebuah rahasia yang akan melipatgandakan keuntungan penjualan produknya. Teman itu melihat, sejak awal produknya pada 1888, minuman Cola-cola hanya dijajakan di kedai-kedai soda.
Setelah berdiskusi cukup alot, Candler penasaran dan akhirnya menuliskan sejumlah angka pada sebuah cek untuk membayar temannya itu. Kemudian, sang teman pun berbisik pada Candler tentang resep rahasianya tersebut. Isinya sangat singkat, hanya dua kata: Dibotolkan saja! Dan, sejak saat itu pemasaran minuman berkarbornat itu dibotolkan dengan berbagai ukuran, dan merajai dunia. Candler tahu mengenai potensi dirinya.
Tak Memiliki Potret Diri
Kebanyakan orang tak memiliki potret diri. Mereka tampil apa adanya. Demikian juga ketika menempuh pendidikan, orientasi ke depan yang dimilikinya hanyalah gambaran bagaimana menjadi pekerja mekanikal atau manual worker. Bukan gambaran, bagaimana dirinya dapat menjadi pekerja berpengetahuan atau knowledge worker.
Dan, karena orientasi kerja yang menjadi targetnya sederhana, tentu saja pendapatan atau salary yang dapat diharapkan relatif terbatas. Dengan kata lain, pas-pasan. Meski hal demikian bukan merupakan atau tidak dapat disebut sebagai sebuah kesalahan, namun tetap dapat dinyatakan sebagai tindakan tidak prospektif. Seseorang yang ingin meraih sukses, tentu tidak seperti itu.
Langkah penyesuaian antara keadaan “potret diri” dengan bentuk pekerjaan atau profesi hampir pasti bisa membawa seseorang ke arah langkah-langkah sukses. Seseorang yang “menguasai” dirinya, memiliki ekuitas dan keadilan yang tidak bersifat pribadi dalam pengambilan keputusan. Ia senantiasa memiliki pertimbangan yang memperhitungkan implikasi. Tidak sekadar pada rasa suka ataupun ketidaksukaan pribadi. Sebab yang menjadi pertimbangan bagi orang seperti itu adalah mencari kinerja (performance), bukan konformasi (conformance). Aturan yang berlaku baginya cukup sederhana, menjalankan misi pribadi yang telah diyakini kebenarannya dengan konsisten. Karena itu pelaksanaan tugasnya harus menampilkan kebijakan-kebijakan yang bernuansakan ketegasan sikap tentang siapa dirinya.
Sosok manusia yang memiliki jati diri adalah subyek yang mandiri. Ayunan langkah dan keputusan-keputusannya sepenuhnya merupakan tanggung jawabnya. Orang demikian itu senantiasa menjadi orang bebas. Orang yang merdeka. Tiada belenggu yang mampu mengekang gerakan pikirannya, improvisasi-improvisasi kehidupannya. Semuanya telah berada dalam kekuasaan tali kekangnya. Ia menjadi pribadi yang utuh. Ia adalah subyek yang berkarakter. Kepribadiannya tidak warna-warni atau bunglon.
Singkatnya, ia memiliki SDM profesional, yakni berpengetahuan, trampil, berjiwa teguh serta ulet, memiliki etika watak positif, berpikiran inovatif-produktif, serta memahami potensi diri. Namun, kemampuan seseorang untuk bertahan atau cepat berubah berganti haluan untuk menjadi pribadi sukses, sangat bergantung pada tingkat keilmuannya. Sebab dari pancaran ilmu itulah seseorang akan memiliki orientasi ke depan. Terutama untuk menimbang dan mengkalkulasi kebutuhan dan kepentingannya.
Yang pasti, adalah kemustahilan bila ada individu dapat memiliki sekaligus dua kesuksesan hidup, sukses kehidupan duniawi serta kesuksesan keakheratan. Dalam perdebatan tenggorokan, berarti semata bertumpu pada logika semata, barangkali pernyataan terakhir itu tidak benar. Kesuksesan semacam itu adalah suatu kemungkinan dan bukan kemustahilan terjadi. Setiap orang yang berusaha keras pasti dapat sukses hidup di dunia-akhirat. Padahal, bila dicermati secara batin, perenungan mendalam, jujur, dan obyektif, maka benarlah pernyataan Rasulullah Saw: “Barangsiapa menyintai dunia, maka akan tercecer urusan akhiratnya. Dan barangsiapa menyintai akhirat, maka akan kuranglah dunianya.” Itu berarti, ibarat orang beristri dua adalah tidak mungkin –dengan jujur– dapat menyintai kedua-duanya sekaligus secara adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar