Sudah lama orang menyadari bahwa tidak setiap keinginan selalu terkabul. Namun yang penting dipahami, tak terkabulnya harapan dan cita-cita bukanlah akhir dari segalanya. Malah barangkali, keadaan itu merupakan langkah awal yang perlu diperjuangkan secara lebih keras lagi, hingga mencapai keberhasilan yang sempurna. Bukan keberhasilan yang prematur, yang sama sekali tidak sempurna. Karena bila keadaan yang terakhir ini terjadi, maka kesuksesan yang dicapai tidak lebih sekadar kesuksesan semu. Tidak memiliki fundamen dasar yang kokoh, hingga mudah runtuh ke dalam jurang kekecewaan yang dalam. Dan, mungkin membutuhkan waktu relatif lama untuk dapat bangkit kembali.
Bila kita sepakat dengan pernyataan di atas, hal itu menegaskan bahwa kita telah sependapat pula untuk menyatakan, di samping memiliki rasa optimisme, seseorang wajib pula memiliki kesabaran. Demi pencapaian harapan dan cita-cita yang ditetapkan, seseorang tidak dapat mengabaikan begitu saja tentang perlunya kemampuan untuk pengendalian diri, pengendalian emosi, serta pengendalian dorongan impuls lain yang negatif. Dan, itu semua butuh kesabaran hati. Sabar adalah sinar yang cahayanya jauh lebih kuat daripada hal lain. Karena menurut Husaini A. Madjid Hasyim dalam kitabnya (Riyadhus Shalihin , tanpa tahun), bahwa salat, sedekah, berpikir dan bersyukur itu belum sempurna kalau tidak ada kesabaran.
Adanya rasa kesabaran biasanya berjalan seiring dengan rasa tawakal, yakni kepasrahan diri tentang keberhasilan yang akan dicapai individu itu setelah melakukan berbagai ikhtiar dan usaha. Singkatnya, guna mencapai suatu keberhasilan yang optimum seseorang harus menguasai 3 (tiga) hal, yakni adanya keyakinan, kesabaran, dan tawakal atas apa-apa yang diharapkan dan dicita-citakannya. Sebab tanpa keyakinan, orang tidak akan memiliki optimisme untuk terus berjalan ke depan. Tanpa kesabaran, orang cenderung akan mengambil jalan pintas guna meraih apa yang dicitakannya. Dan, tanpa rasa tawakal, orang bakal menghadapi guncangan besar bilamana ternyata mengenai apa-apa yang didambakannya itu ternyata tidak dapat terrealisasikan.
Perhatikan nasihat yang dicuplik dari kita suci berikut ini:
“Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan mengerjakan salat, karena sesungguhnya Allah bersama-sama orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah 153). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka tawakallah kepada Allah (Q.S. At-Thalaq, 63:3). Dan, barangsiapa yang tawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi (keperluannya) (Q.S. Al-Anfal, Q.S. 8:2).
Namun, kebanyakan orang masih salah dalam memberikan tafsiran mengenai apa yang dimaksudkan dengan sabar dan rasa tawakal. Bahkan secara ekstrem ada pendapat yang memahami bahwa kesabaran itu, seperti dilakukan orang-orang yang merenungi nasib dengan berdiam diri. Tidak bertindak apa-apa. Senantiasa menunggu keajaiban dari langit. Padahal yang dimaksudkan dengan kesabaran adalah bersikap menahan diri maupun emosi dari tindakan-tindakan negatif, seperti halnya mengambil jalan pintas, menerobos antrean, melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepostisme), dan seterusnya.
Itulah sebabnya sebelum bersikap sabar, seseorang diharuskan berikhtiar terlebih dulu, yakni menggenapi usahanya guna mencapai keberhasilan. Baru setelah itu ia diwajibkan bersabar dan bertawakal. Menurut buku Dr. Schindler berjudul How to Live 365 Days a Year, seperti dikutip oleh David J. Schwartz, bahwa tiga dari empat ranjang di rumah sakit diisi oleh orang yang mengidap Emotionally Induced Illnes atau penyakit yang disebabkan emosi.
Sabar itu tidak ada batasnya. Sehingga bila mengalami kesalahan (error), ia wajib memperbaiki kesalahan itu dan terus bersikap sabar terhadap hasil akhirnya. Demikian seterusnya, dengan diiringi rasa tawakal. Jadi, adalah keliru adanya pendapat yang menyatakan, kesabaran itu ada batasnya. Maka, bila sesuatu telah melewati batas kesabaran seseorang memiliki alasan pembenar dan diperkenankan untuk bertindak tidak sabar. Menurut kata bijak, kemenangan kita yang paling besar bukanlah karena kita tidak pernah jatuh, melainkan karena kita mampu bangkit setelah jatuh.
Lakukanlah hal-hal yang menakutkan dan teruslah melakukannya. Itu adalah cara paling tepat dan paling pasti yang pernah ditemukan orang untuk menaklukkan kecemasan. Pribadi orang sukses senantiasa memahami bahwasanya kita mampu menaklukkan apa saja yang tengah dihadapi. Landasannya, positive thingking. Sebab bila tidak demikian, kita sendirilah yang bakal ditaklukkan keadaan.
Adalah lebih penting melakukan yang benar daripada melakukan dengan benar. Karena yang terakhir ini bisa saja terjadi mengenai perbuatan yang tidak benar, namun secara teknis operasional kita telah melakukannya dengan benar. Tak dapat dipungkiri bahwa jiwa manusia akan tergadaikan menurut apa yang telah diperbuatnya. Jika jatuh cinta, misalnya, maka tentu jiwa kita akan senantiasa menuruti apa pun kemauan dari rasa cinta itu sendiri. Bahkan nyaris, kita dapat dinyatakan tak lagi memiliki subyektifitas diri. Selalu dan akan selalu berupaya mengabulkan permintaan sang kekasih. Apa pun risikonya! Benarlah nasihat yang dicuplik dari kita suci berikut ini: “Setiap diri manusia itu tergadai (terikat) oleh apa yang diperbuat atau diusahakannya” (Q.S. Al-Mudatsir: 38).
Sabar dan tawakal adalah dua kata yang mudah diucapkan, namun perlu perjuangan keras untuk mewujudkannya. Karena kedua kata itu merupakan kunci keberhasilan bagi pribadi yang sukses. Tidak semua orang mampu bertindak demikian. Grafitasi kekuatan untuk tidak sabar laksana gaya tarik bumi yang membetot ekor pesawat ulang-alik dari dorongan roketnya untuk mampu menembus atmosfir bumi. Dibutuhkan kekuatan yang luar biasa untuk bersabar, sebelum akhirnya dengan mudah dapat menjelajahi wilayah angkasa luar tanpa membutuhkan kekuatan yang besar. Artinya, dengan mampu membiasakan diri berbuat sabar dan tawakal, maka pribadi yang demikian tidak akan mengalami kesulitan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar