Kaidah kedua, setelah memiliki keyakinan diri, kita wajib mempunyai pernyataan kemenangan diri. Yang dimaksudkan adalah pernyataan-pernyataan yang terlahir dari pikiran bawah sadar, bahwa kita adalah pemenang. Pemenang dari pertarungan apa pun dari pergulatan hidup. Sebab itu orientasi ke depan dalam mengarungi kehidupan ini, senantiasa diliputi pernyataan kemenangan diri. Tidak ada kamus kegagalan.
Bila orang lain melihat apa yang kita perjuangkan dinilai gagal, maka kita harus meyakininya bahwa hal itu bukanlah suatu kegagalan. Tidak terpenuhinya target atau goal sebenarnya tetap merupakan keberhasilan, meski belum sempurna. Sudah tentu, kita memiliki kewajiban menyempurnakannya!
Orang seringkali gagal bukan disebabkan karena lemahnya kemampuan yang dimiliki, tapi lebih dikarenakan ketakutan terhadap “monster-monster” dalam pikiran yang diciptakannya sendiri. Seperti seekor gajah dengan belalainya yang kuat dan mampu mengangkat beban berat, disertai postur tubuhnya besar yang sudah tentu memiliki kekuatan yang dahsyat pula. Namun ternyata, sebagaimana kita melihat dalam pertunjukkan sirkus, ternyata sang gajah tidak mampu bergerak padahal kakinya diikatkan dengan tali berukuran kecil pada sebatang tonggak yang kecil pula.
Situasi semacam itu dapat juga terjadi pada diri kita. Ketika kita menghadapi problema hidup, dan kita tidak memiliki keyakinan diri bahwa kita dapat memecahkannya. Karena kita tidak yakin memiliki solusinya! Maka, kita akan gagal.
Dengan tegasnya, Allah telah menyatakan dalam kitab suci (Q.S. Al-Insyirah ):
“Bukankah Kami (Allah) telah melapangkan dadamu. Dan, telah Kami ringankan bebanmu yang berat. Yang memberati punggungmu. Dan, Kami tinggikan (muliakan) namamu? Sesungguhnya di samping kesukaran ada kemudahan. Sesungguhnya di samping kesukaran ada kemudahan. Apabila engkau telah selesai (mengerjakan sesuatu pekerjaan atau urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan atau urusan) yang lain. Dan, hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
Untuk menciptakan pernyataan kemenangan diri, menurut pendapat orang-orang besar, harus dimulai dari penciptaan auto-sugesti positif pada diri sendiri. Caranya, ciptakan terlebih dulu apa target kita pada masa satu tahun, dua tahun, atau tiga tahun ke depan. Berteriaklah sekeras-kerasnya di tempat tertutup, atau boleh juga dilakukan di lapangan terbuka dengan penuh keyakinan diri bahwa kita pasti berhasil. Misalnya, kita katakan: “Saya pasti berhasil! Saya pasti bisa! Saya pasti menang!”.
Teriakan-teriakan yang penuh keyakinan semacam itu, yang dilakukan berulang-ulang ternyata mampu mencetak pada layar mental seseorang, dan merasuk ke alam bawah sadar. Maka, sistem produksi kerja kita akan bergerak otomatis ke arah kemenangan diri, seperti detak jantung yang berdetak rata-rata 120 ribu kali sehari tanpa perintah pikiran kita.
Berangkat dari keyakinan diri, ditambah dengan pernyataan kemenangan diri, pada gilirannya akan menumbuhkan rasa percaya diri. Hal yang terakhir ini adalah modal utama yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Tanpa rasa percaya diri, seseorang yang memiliki kehebatan maupun kepandaian apa pun, menjadi tidak berharga sama sekali. Selalu ada “hantu-hantu” di dalam alam pikirannya yang menyatakan bahwa ia tidak akan mampu, ia tidak akan dapat menyelesaikan, dan ia akan gagal. Dan, kegagalan itu memalukan dirinya.
Padahal kegagalan itu tidak ada. Kegagalan baru tercipta bilamana kita berhenti berusaha, berhenti bertindak, serta berhenti mencapai target yang kita cita-citakan. Jadi, kegagalan itu hakekatnya tidak pernah disebabkan oleh sesuatu hal di luar diri kita, tapi justru disebabkan oleh diri kita sendiri. Karenanya, mulai dari sekarang, setelah Anda membaca tulisan ini, jangan pernah lagi menyalahkan orang lain!
Mahatma Ghandi pernah mengatakan, orang yang mudah bersedih hati, akan sukar mencapai apa yang dicita-citakan. George Bernard Shaw menasihati, kemalangan hidup ialah kenyataan bahwa masa muda, sebagai masa keemasan, telah diboroskan. Padahal Charles Darwin berkeyakinan, bahwa dengan kemauan keras dan tekad yang bulat, pasti dapat. Dan, Erasmus menyikini, selama masih hidup, masih ada harapan. Oang tidak perlu berputus asa selama dirinya masih bisa bernapas. Sedangkan Imam al Ghazali mengingatkan, bahwa gila hormat hukumnya haram, tapi menjadi orang terhormat adalah wajib hukumnya.
Konsistensi Diri
Kaidah ketiga, adalah apa yang disebut dengan konsistensi diri. Konsistensi dapat dimaknai sebagai sikap yang mantap dalam bertindak, ketetapan hati yang berani mengambil risiko apa pun. Baik terhadap apa yang disukai maupun yang tidak disukai. Dengan konsistensi diri seseorang bakal terlihat kepribadiannya yang utuh. Potret dirinya menjadi lebih jelas.
Didukung kapasitas pribadi dan kualitas ilmunya, konsistensi diri seseorang memiliki posisi tawar tinggi. Sebab orang lain perlu berpikir cermat terlebih dulu sebelum memberikan penawaran atau pun mengajaknya untuk berdiskusi. Dengan demikian ia bukanlah orang yang dapat disembarangkan, tapi orang yang perlu diperhitungkan.
Bersikap dalam hidup ini, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang besar sebelumnya, selalu dimotori dengan sikap konsistensi. Ibarat kereta api, sikap seperti itu merupakan jalur rel yang mesti dilewati. Bahkan tidak ada kompromi-kompromi bila keputusan yang harus diambil sudah melibatkan perihal konsistensi sikap. Sikap yang demikian ini memang tidak dimiliki oleh setiap orang.
Albert E. Gray, seperti dikutip Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits, bahkan sampai membuat penegasan dalam eseinya, bahwasanya semua orang yang sukses hidupnya, punyai kebiasaan melakukan hal-hal yang enggan dilakukan oleh mereka yang gagal. Sebenarnya, orang-orang yang sukses merasakan pula keengganan itu, tetapi kekuatan tekad mereka mampu mengalahkannya.
Dan sikap seperti itu, pernah pula dicontohkan oleh Socrates ketika dijatuhi hukuman mati oleh raja oleh sebab buah pikirannya dianggap merusak jiwa kaum muda. Sebagai ilmuwan, Socrates memiliki banyak sahabat yang kaya dan memiliki kekuasaan. Para sahabatnya menilai bahwa keputusan raja tersebut salah, karena itulah mereka berkeinginan membantu Socrates melarikan diri. Tapi sikap konsistensi Socrates jauh lebih kuat daripada keinginannya untuk tetap hidup, maka ia pun memilih tetap menjalani perintah kaisar untuk meminum racun, dan mati! (Soejono Soemargono, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar