Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam menyambut 1 Muharam 1431 Hijriah, mengeluarkan statemen mengejutkan. Sebagai wujud otokritik kedua organisasi massa Islam tersebut menyatakan, Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia, tapi sekaligus menjadi negara terkorup pula. Premis pun segera muncul di benak setiap orang untuk menarik sebuah kesimpulan, agama Islam terbukti gagal “mendidik” umatnya menjadi manusia yang baik.
Konklusi atas logika yang demikian memang tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar. Sebab membenturkan perilaku umat pemeluk agama dengan fenomena empirik semacam itu, tidak dapat dijadikan landasan atau pertimbangan logika guna menarik hipotesis. Jika simpulan semacam itu diyakini sebagai suatu kebenaran yang logis, maka semua agama di dunia ini telah gagal pula menjadi penerang hati umat manusia agar menjadi orang baik. Koq bisa? Logika sederhananya dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Jika kita berjalan di pelataran, dan di pelataran itu sebagian besar tertutupi kerikil dibandingkan yang tidak tertutupi, tentu langkah kaki kita akan lebih banyak menginjak kerikil daripada tidak. Demikian pula dengan tindak korupsi di Republik ini, mengapa banyak dilakukan umat muslim daripada non-muslim? Karena sebagian terbesar penduduk negeri ini adalah umat muslim. Tentu demikian pula pelaku-pelaku kejahatan di negara-negara non-muslim, tergantung agama apa yang mendominasi warganya, dapat dipastikan petindak kejahatan itu sebagian besar adalah pemeluk agama non-muslim daripada yang muslim.
Ambil contoh tindak kejahatan aborsi. Aborsi terlambat –usia kandungan sudah lebih dari 3 bulan– yang terjadi di AS 120.000 per tahun atau sekitar 400 per hari, di Inggris 170.000 per tahun, dan di Canada 65.000 per tahun. Itu data resmi yang terjadi di negara-negara berkonsep monogami dengan kebebasan berzina. Tidak terhitung berapa jumlah aborsi di negara-negara Barat lainnya. Data tersebut belum menghitung pula data aborsi tidak terlambat. Termasuk data korban anak-anak terlantar dari hasil zina yang tidak jelas nasabnya. Dipastikan pelaku kejahatan itu sebagian besar umat non-muslim.
Kesalahan Ulama
Beberapa salafussholeh berpendapat dalam hal terjadinya kerusakan di bumi –termasuk perilaku korup–, setidaknya terdapat 3 (tiga) pihak yang patut ditunjuk sebagai tertuduh. Berurut antara lain, ulama atau pemuka agama, orang kaya yang pelit, dan pemimpin.
Ulama menempati urutan pertama sebagai tertuduh, sebab sosok ini diibaratkan pengganti para nabi. Sebab di pundaknyalah terletak ajaran agama yang wajib diajarkannya sekaligus dijalankannya secara benar, hingga menjadi teladan bagi umat pemeluknya. Ulama haram bertingkah laku keduniawian, yakni lebih mengedepankan urutan syahwat daripada urusan umat.
Jika ulama sudah terjebak dengan kesibukan dunia, yang tersisa hanyalah menunggu saat umatnya berperilaku bejat. Apalagi bila sang ulama hanya sibuk dengan urusan pribadi. Tak lagi mendengung-dengungkan firman-firman Tuhan serta tidak pula memberikan contoh perilaku yang baik. Sebab itulah menempatkan ulama sebagai tertuduh utama merupakan hal yang wajar dan logis, karena sebagai penjaga pintu hati itu ia telah mati suri.
Tertuduh kedua, adalah para orang kaya yang pelit. Yang muslim, suka berkali-kali naik haji atau umrah, sedangkan yang non-muslim punya hobi pelesir ke luar negeri. Kemiskinan yang mendera di sana-sini di sekelilingnya, seolah tak tampak di mata. Kalau pun ada aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan, seringkali masih berwujud demontrasi kedermawanan untuk sekadar mendapatkan penghargaan semu, seperti kekaguman sosial. Belum menjadi tuntutan sikap sebagai orang yang memiliki keyakinan religi.
Setiap tahun calon jemaah haji dari Indonesia terus meningkat. Bila ada orang mendaftarkan diri untuk dapat pergi haji saat ini, maka ia baru diberangkatkan pada musim haji 4 (empat) tahun mendatang. Itu pun harus mendapatkan nomor antrian terlebih dulu. Di sisi lain, di jalan-jalan raya di berbagai kota, banyak orang kaya berlomba membangun/memiliki rumah mewah serta mobil bagus. Satu orang bahkan bisa memiliki lebih dari duapuluhan mobil. Belum terhitung mereka yang memiliki pesawat jet pribadi, apartemen-apartemen mewah, serta bungalow-bungalow di luar negeri.
Tertuduh Ketiga
Pemimpin, baik pemimpin pusat maupun pemimpin lokal, merupakan tertuduh ketiga. Kebijakan mereka di seluruh sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, keagamaan, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan/hukum, terbukti belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Penggunaan anggaran negara, tujuh puluh persen di antaranya habis diserap hanya untuk gaji pegawai dan biaya pembangunan fisik. Bahkan 30% persen di antaranya –bila masih sepakat dengan pernyataan begawan ekonomi Indonesia Prof. Soemitro Djojohadikusumo– dikorupsi. Kemiskinan struktural menjadi pemandangan lumrah, karena sudah menjangkit di pelbagai pelosok negeri.
Selain itu, kebijakan ekonomi yang masih bergantung dana pinjaman asing, masih sulit dilepaskan. Sementara sumber daya alam, seperti minyak, gas bumi, serta kekayaan mineral lainnya masih terus dikelola perusahaan-perusahaan asing dengan pembagian yang belum adil. Bentuk-bentuk penjajahan dengan topeng dan gaya baru (baca: neo-kolonialisme), digagas dan dimotori negara-negara besar non-muslim, terus bergerak dengan menelikung melalui kebijakan pemerintah yang korup. Sebenarnya secara hakiki –baik pejabat yang korup maupun para penjajah modern itu– sudah tak lagi berpatokan pada nilai agama apa pun. Just business!
Keadaan yang demikian itu, wajar terjadi. Hari kiamat memang sudah semakin dekat, sebab tidak mungkin semakin menjauh. Kerusakan demi kerusakan akan terus terjadi. Negara-negara besar penyumbang emisi gas terbanyak yang sangat merusak ozon itu, semakin tak bertanggung jawab. Saat ini banyak orang mengaku beragama, tapi eksistensi mereka seperti buih di lautan. Beragama seakan sekadar melengkapi data isian dalam lembar KTP. Orang beragama pun bak memegang bara api. Dan, kebanyakan orang bersenandung seenaknya, “...jangankan cari duit halal, cari duit haram pun susah, la.....la.....la.....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar