Sephen R. Covey dalam bukunya menyatakan, berusahalah untuk mengerti lebih dulu, baru kemudian dimengerti. Bila kita berusaha mengerti orang lain lebih dulu, kita menerapkan prinsip dari empati. Begitu kita mengerti, kita dapat beralih ke tahap interaksi kedua, yaitu: berusaha untuk dimengerti oleh lawan bicara (The Seven Habits, Covey Leadership Center, 1994).
Berdiri pada posisi sebagai pendengar yang baik memang terkadang terasa membosankan. Terutama bila materi lawan bicara kita terasa kental sekali nuansa kebohongan atau kesombongannya, yang kerapkali berkisar masalah kekayaan atau jabatan/karir, atau sanak keluarganya. Padahal, tanpa terasa, kadang kita pun terjebak ke dalam materi pembicaraan yang sama. Semacam ada upaya yang kuat untuk sekadar menunjukkan bahwa kita juga tidak kalah hebatnya dengan lawan bicara.
Itulah Epictetus, membuat pernyataan menarik, bahwa alam telah memberikan manusia satu lidah, tetapi dua telinga. Maksudnya, agar kita dapat mendengar dari orang lain dua kali lebih banyak daripada yang kita ucapkan. Immun El Blitary, dalam bukunya Pandangan Al Ghazali Tentang Bahaya Lidah mengutip, Al Hasan Al Bashar menasihati, barangsiapa banyak perkataannya, niscaya banyak bohongnya. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz menasihati dirinya sendiri mengatakan, bahwa sesungguhnya aku mencegah dari banyak berkata, karena takut membanggakan diri.
Dari nasihat di atas kita dapat menarik kesimpulan, sebagai norma pertama, bahwa dalam proses komunikasi kita disarankan untuk bertindak sebagai pendengar lebih dulu daripada berbicara. Dan, kalau pun kita harus berbicara lebih baik bila pembicaraan itu dikontrol, agar tak menyeret kita menjadi pembohong atau suka menyombongkan diri. Tidak mudah memang, tapi itulah prinsip dasar agar komunikasi kita berjalan sesuai dengan pemahaman apa yang sedang kita bangun.
Jika demikian, dalam berkomunikasi butuh siasat. Maksudnya, mencari saat yang tepat untuk menggiring/mengarahkan topik pembicaraan berada jalur yang diinginkan, tanpa menyinggung perasaan lawan bicara. Dale Carnegie, seorang pakar komunikasi mengatakan, saya mendengarkan dengan sabar apa yang ingin ia katakan. Memang, saya ingin sekali membantahnya, akan tetapi saya mengerti, bahwa ini bukan suatu taktik yang betul. Karena itu, saya biarkan saja ia menyudahi pembicaraannya, setelah sampai kepada stadia (keadaan), di mana ia mau mendengarkan saya.
Ingatlah, bahwa orang dengan siapa Anda berbicara, seratus kali lebih banyak memperhatikan dirinya sendiri daripada memperhatikan Anda atau masalah-masalah Anda. (Dale Carnegie, 979).
Melihat Diri Sendiri
Melakukan komunikasi dengan siapa pun, pada hakekatnya melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri. Mengapa? Sebab orang yang kita ajak bicara baik sebagai orang pribadi maupun sekelompok orang, adalah manusia atau sekumpulan manusia sebagaimana wujud diri kita sendiri. Itu berarti, baik diri kita maupun diri orang lain tidak menginginkan perasaannya disinggung, disakiti, apalagi dimaki-maki. Tidak ada seorang pun yang ingin diperintah. Tapi setiap orang tidak berkeberatan bila dimintai tolong.
Semua orang selalu ingin dicintai. Karena itulah seorang nabi berpesan: “Seseorang diantara kamu tidak (sempurna) imannya, sehingga ia menyintai saudaranya (manusia yang lain, Pen.) sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri” (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ wal Marjan, 1993).
Bertitik tolak dari kenyataan itu, dapat ditarik suatu konklusi sebagai norma kedua proses komunikasi adalah memandang orang lain sebagaimana memandang diri kita pada cermin. Selama ini, hampir rata-rata dilakukan oleh semua orang, selalu memandang orang lain sebagai “obyek” sasaran dan bukan “subyek” pasangan dialog. Dengan sikap pandang yang menilai orang lain sebagai obyek, sudah tentu akan melahirkan perilaku-perilaku yang sulit memberikan penghargaan terhadap apa pun yang dimiliki atau dikuasai oleh orang lain itu.
Bahasa tubuh yang muncul dari sikap orang yang demikian ini, akan tampak sekali bernada meremehkan, cuek, serta tidak peduli. Orang seperti ini hanya ingin pembicaraannya, tampilannya, dan masalahnya diperhatikan. Contoh empiriknya, bagaimana seorang Wakil Rakyat anggota Pansus Bank Century, dengan mudahnya mengekspos hasil rekaman hasil rapat KSSK dan mengeluarkan pernyataan yang bernada menuduh, dan ternyata tidak benar.
Yang Lebih Baik
Kebalikannya, seorang kemunikator yang memandang sosok manusia lain sebagai subyek yang sama. Kaidah yang diyakini seseorang semacam ini akan senantiasa melihat kebutuhan dan kepentingan orang lain seberat dirinya menimbang kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Dalam pandangan yang penuh kesetaraan demikian itu proses dialog dapat berlangsung aktif, termotivasi positif, serta merangsang alur komunikasi menjadi suatu medan pembicaraan yang penuh antusiasme.
Masing-masing orang yang merasa mendapatkan penghargaan yang sama sebagai subyek manusia, tentu tidak memiliki alasan untuk berpikir negatif atau bertindak negatif. Sebab serendah-rendahnya pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai tata krama dan kesopanan, ia tetap akan berusaha bertindak dan berlaku sopan sampai batas yang dipahaminya. Dan, sikap seperti itu merupakan kebiasaan yang kodrati - manusiawi.
Sangat indah dicatat di sini, nasihat Allah dalam Al Quran ayat (86) berikut:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar