Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Sabtu, 06 Februari 2010

Pemimpin Sukses Bukan Pemimpi

Inti dari kehidupan manusia bagi pribadi yang mengharapkan keberhasilan yang sempurna, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kapasitasnya di bidang keilmuan. Sebagaimana pernah Penulis singgung terdahulu, untuk dapat mencapai kadar yang mumpuni di bidang keilmuan, wajib atas diri manusia itu selalu dan selalu membaca atas keseluruhan ilmu pengetahuan yang terpapar, baik secara inderawi maupun non-inderawi. Karena membaca itu tidak dapat dimaknai secara sempit, seperti kita membaca surat kabar atau buku semata.



Adalah tergolong tindakan “membaca” ketika kita merenungi keajaiban alam semesta, atau berpikir tentang antagonisme mengenai multi dimensi psikologi manusia, dan masih banyak lagi. Dengan ilmu itulah kita mencoba menyiasati persoalan-persoalan duniawi. Kita hadapi kegagalan. Kita selesaikan masalah-masalah. Dan, kita jadikan hambatan-hambatan menjadi peluang untuk menggapai sukses.

Berpikir sukses berarti memiliki orientasi yang mengedepan. Terus-menerus merancang kerangka berpikir konstruktif yang ditujukan untuk meraih kesuksesan itu sendiri. Tindakan itu tidak akan pernah berhenti. Ibarat sebuah mesin, gerakan itu berputar secara mekanistis. Telah menjadi alur kebiasaan, bahkan merupakan watak bagi sosok yang berpikir sukses. Disebabkan senantiasa berpikir sukses, maka dalam benak ini nyaris tidak terbersit istilah kegagalan. Karena hakekat kegagalan itu tidak ada. Yang ada hanyalah kesalahan yang secara keilmuan dapat diperbaiki dan diulangi.

Dengan begitu secara psikis akan selalu ada optimisme untuk bertindak, dan terus bergerak ke depan. Tidak dikenal adanya stasiun pemberhentian, sebab berhenti berpikir dan bertindak berarti berhenti untuk maju. Dan, tindakan yang demikian itu membawa konsekwensi bahwa kita harus bersiap-siap menghadapi kekalahan sekaligus dilindas oleh ganasnya kehidupan ini.

Berikut di bawah ini ada 4 (empat) hal yang harus kita kuasai untuk dapat menjadi pribadi sukses yang menjadi kemenangan publik, yakni:

a. Berorientasi Menang-Menang
Dapat dianggap sebagai norma pertama untuk pemimpin yang mewujud dari pribadi sukses, adalah pemimpin yang senantiasa berpikir menang-menang. Baginya, orang lain di luar dirinya adalah pasangan untuk meraih kesuksesan. Sebab itu tidak ada kamus dalam pikirannya mengenai konsep menang dan kalah. Dengan dasar sikap seperti itu, tentu saja ia setiap saat dituntut untuk berpikir kreatif. Yakni berpikir, bagaimana orang lain itu merasa juga memiliki kemenangan sebagaimana kemenangan yang berhasil diraihnya. Baginya setiap peluang guna meraih keberhasilan tidak harus membuat orang lain merasa kalah, sebab hal itu sama artinya dengan mempermalukannya.

Cara meraih keberhasilan dengan mempermalukan orang lain selain tidak terpuji, juga tidak bakal dapat berlangsung terus-menerus. Pada suatu saat, orang semacam ini tidak menutup kemungkinan akan dijatuhkan orang dengan cara yang sama, seperti yang biasa dilakukannya.

Disadari atau tidak, dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebenarnya kita ini setiap saat selalu melakukan negosiasi-negosiasi serta membuat keputusan-keputusan. Di masa lalu, barangkali sudah terlalu sering kita menyakiti orang lain dengan sikap dan tindakan yang kurang menghargai pendapat orang lain. Suka mendominasi forum dialog. Ingin selalu dimenangkan, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan merubah sikap dari cara berpikir menang-kalah menjadi menang-menang, secara tak langsung sebenarnya kita telah memperbaiki perbuatan-perbuatan masa lalu, yang kita rasakan sebagai tindakan yang tidak positif.

Kebiasaan sikap dan perbuatan yang selalu positif, akan menempatkan kita pada perilaku yang tidak lagi memandang orang lain sebagai “bawahan” atau orang “suruhan” yang wajib melayani. Justru sebaliknya, secara psikologi kita harus dapat menjadi “pelayan” bagi kepuasan semua orang.

Bagi orang yang belum memahami makna “pelayanan” sosial, tentu saja perbuatan yang lebih banyak memperhatikan orang lain semacam itu dianggap sebagai tindakan konyol. Sebab menurut pandangan umum, yang lebih banyak dipengaruhi dorongan ego-sentris, manusia itu merasa lebih wajib memperhatikan kepentingannya daripada kepentingan orang lain. Lebih wajib mengurusi kebutuhannya daripada kebutuhan orang lain. Dan, lebih baik memperhatikan kehormatannya daripada kehormatan orang lain.

Mengutip dari bukunya Dale Carnagie, suatu perusahaan telepon telah mengadakan penyelidikan untuk mengetahui kata-kata apa yang paling sering digunakan dalam sebuah percakapan telepon. Ternyata dari 500 percakapan, para penelepon itu telah menggunakan kata “saya atau aku” tidak kurang dari 39.990 kali. Arti dari survei ini membuktikan, kebanyakan orang masih lebih suka ingin diperhatikan daripada memperhatikan.

Padahal, menurut seorang pakar psikologi Alfred Adler dalam sebuah bukunya menyatakan, siapa yang tidak ada perhatian kepada sesamanya, tidak saja akan mengalami banyak sekali kesukaran dalam kehidupan-nya sendiri, akan tetapi juga akan mendatangkan kesukaran bagi lingkungannya. Mereka itu merupakan orang-orang yang gagal di dunia ini.

Ada kisah menarik yang ditulis dalam buku Dale Carnegie, yakni tentang Kaisar Wilhelm dari Jerman yang sangat dibenci dan dibuang di Belanda. Seorang anak mengirim surat kepadanya dan menyatakan, apa pun yang dipikirkan dan dianggap oleh orang lain, ia tetap menganggap Wilhelm adalah kaisarnya dan akan tetap menganggapnya demikian. Sang kaisar sangat terharu dengan isi surat itu, sehingga cukup lama disimpan dalam sakunya, sebelum akhirnya mengundang anak tersebut untuk mengunjungi tempat pembuangannya di Doorn. Maka, datanglah anak itu bersama ibunya, yang ternyata kemudian dinikahi oleh Kaisar Wilhelm.

Bila direnungkan, bersikap perhatian terhadap orang secara tulus memang tidak selalu menghasilkan kontra prestasi yang kontan dan instan. Maksudnya, pada saat yang bersamaan kita tidak bakal mendapatkan tanggapan atau perhatian yang sama dari orang, kepada siapa kita memberikan perhatian. Kita butuh kesabaran.

Menurut Stephen R. Covey, untuk membangun hubungan antar-individu yang erat dan produktif perlu membuka apa yang dinamakan Rekening Bank Emosi pada orang lain dan mengisinya secara teratur. Yang dimaksudkannya dengan Rekening Bank Emosi hanyalah sebuah kiasan yang ditujukan untuk mewakili pengertian tentang besarnya kepercayaan orang yang tumbuh dalam hubungan antar-personal tersebut.

Dengan tingkat kepercayaan yang relatif tinggi, seseorang akan mendapatkan berbagai kemudahan berkenaan dengan kepentingan-kepentingannya. Karena bagi orang yang melakukan hubungan sosial dengannya seolah sudah mendapatkan jaminan seutuhnya, bahwasanya ia tidak bakal mendapatkan kerugian.

Dalam konteks pengertian Rekening Bank Emosi ini, yang dipahami sebagai tindakan penyetoran atas rekening adalah perbuatan-perbuatan yang menambah kepercayaan, antara lain seperti kebaikan, keramahtamahan, menepati janji, menghormati harapan orang, integritas, kesetiaan, permintaan maaf, dan sebagainya. Sedangkan penarikan atas rekening ialah perbuatan yang mengikis kepercayaan, antara lain seperti tindakan ketidaksopanan, kritik negatif, ingkar janji, pengkhianatan, dan yang semacamnya.

Bila hal terakhir ini yang menimpa kita, maka bersiap-siaplah menjadi orang yang tersingkir. Manusia yang disia-siakan dalam sistem hubungan kemasyarakatan. Yang perlu mendapatkan perhatian, menurut penulis buku The Seven Habits of Highly Effective People ini, ketika melakukan penyetoran hendaknya dilakukan dengan tulus. Tidak mengharapkan keuntungan sewaktu melakukannya. Sebab, bila kita menyetor dengan tujuan mengambil keuntungan dari seseorang, maka tindakan penyetoran itu dapat berbalik menjadi penarikan.

Dengan demikian dapatlah kita pahami, bahwa berpikir menang-menang bukanlah tindakan yang merugikan, sebaliknya justru menguntungkan. Karena tindakan menghormati orang lain bukanlah sikap merugikan. Namun, kebanyakan orang masih berpikir konvensional, kalau tidak boleh disebut masih berperilaku primitif. Segala sesuatunya senantiasa dikalkulasi menurut kaidah kalah-menang atau untung-rugi. Sementara di mana pun di pelosok dunia ini tidak ada satu pun manusia yang mau dan sukarela menerima kekalahan atau kerugian. Sudah tentu konsekwensinya mudah untuk ditebak, yakni lahirnya persaingan-persaingan, pertentangan-pertentangan, bahkan peperangan yang selalu berakhir dengan kehancuran umat manusia baik dari sisi fisiologi, psikologi, maupun sosiologi.

Karena itulah barangkali kita patut merenungkan nasihat Muhammad Rasulullah berikut ini: “Hendaklah anak kecil (orang muda, Pen.) mengucapkan salam (menghormati) kepada orang besar (orang yang lebih tua, Pen.), orang berjalan kepada orang yang duduk, orang sedikit kepada orang banyak, dan orang yang naik kendaraan kepada orang yang berjalan”. ***

Tidak ada komentar: