Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Jumat, 18 Desember 2009

Kebenaran Vs Dominasi Kebenaran

Bila seseorang dapat berperilaku, sebagai wujud etika wataknya sehari-hari atau suatu kebiasaan diri yang hidup, yakni selalu memandang tingkah laku manusia sebagai tindakan manusiawi, melihat manusia lain bak cermin diri, serta bersikap proaktif dalam menanggapi kehidupan ini, sebenarnya pada saat bersamaan orang itu telah meraih kemenangan pribadi. Sosok manusia seperti itu dapat diibaratkan sudah memahami, bahkan sudah memiliki pandangan, untuk apa ia dilahirkan dan harus bagaimana ia mengisi kehidupan ini bersama seluruh makhluk hidup di alam semesta.

Namun, untuk mendapatkan potret sosok manusia yang seperti itu tidak mudah. Sebab, nyaris tidak ada manusia yang dapat dinyatakan sempurna. Dan, Tuhan sendiri menciptakan kesempurnaan manusia dalam wujud ketidaksempurnaannya. Bertolak dari ketidaksempurnaan itulah sosok individu yang disebut manusia akan senantiasa berjuang mencari kesempurnaan hidup..

Setiap interaksi sosialnya, baik dengan manusia maupun dengan makhluk hidup lain, bahkan dengan alam semesta beserta lingkungannya, manusia selalu berusaha sekaligus bertujuan mendapatkan kesempurnaan hidup. Manusia berharap, pencapaian kesempurnaan demikian itu, bakal menggenapi hakekat dirinya sebagai sosok manusia.

Petualangan manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang lebih sempurna memang sangat beragam. Keberagaman itu sama banyaknya dengan mitos-mitos kehidupan sempurna yang digambarkan oleh kalangan pemikir. Seperti terlihat dari lahirnya aliran-aliran kesusilaan semacam hedonisme, eudemonisme, stoisisme, utilisme, marxisme, vitalisme, dan idealisme. Menurut masing-masing penganutnya, antara aliran yang satu dengan aliran yang lain ternyata tidak ada yang sempurna. Selalu ada titik kelemahannya.

Sebab itu, meletakkan arah “perjuangan” untuk mencapai kesempurnaan hidup dengan cara semata meyakini aliran-aliran pemikiran tersebut sebagai alasan pembenar bagi setiap tindakannya, dapat menimbulkan bahaya besar. Meski aliran pemikiran semacam itu dapat dijadikan wacana berpikir, namun pemanfaatannya hendaknya tidak lebih sekadar sebagai bahan komparasi terhadap kebenaran-kebenaran religius.
Perhatikan kisah menarik berikut ini:
Di Main Street, AS, ada pemilik toko yang memiliki sebuah jam besar, yang diletakkan persis di depan tokonya. Selama bertahun-tahun pemilik toko ini memperhatikan kehadiran seorang laki-laki yang selalu berjalan menuju tokonya pada jam 12.00. Lalu, ia berhenti di depan jam itu dan mengeluarkan jam miliknya dari kantong celananya. Setelah itu, ia mencocokkan jamnya itu dengan jam yang ada di toko.

Karena penasaran, suatu hari sang pemilik toko berniat menanyakan langsung pada lelaki itu mengenai apa yang diperbuatnya. Pada saat lelaki itu datang sang pemilik toko itu menghadang, kemudian menanyakan mengapa ia selalu mencocokkan jamnya setiap hari di tokonya. Dengan tersenyum lelaki itu menjawab: “Saya ini adalah mandor. Tugas saya adalah membunyikan peluit tepat jam 17.00 setiap harinya. Dan, saya ingin yakin bahwa waktunya bisa selalu tepat!”.

Jawabnya itu, kontan membuat sang pemilik toko terbelalak, terkejut, lalu tertawa terbahak-bahak. “Apanya yang lucu?”, tukas lelaki itu. Dengan rasa geli sang pemilik toko menjawab: “Maafkan saya, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Anda. Tapi saya memang tidak kuat menahan tawa. “Begini, sebenarnya selama bertahun-tahun saya justru mencocokkan jarum jam saya ini sesuai dengan saat Anda membunyikan peluit tepat jam 17.00 setiap harinya!” (Dale Carnegie, 1979)

Dari ilustrasi di atas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa bagaimana pun juga, setinggi dan sehebat apa pun penjelajahan alam pikir manusia dalam mencari nilai-nilai kebenaran hakiki, tetap saja tidak akan mampu menembus kebenaran mutlak yang hanya dikuasai dan dimiliki sang Pencipta. Malah kadangkala, jika tidak boleh dikatakan seringi, kebenaran yang diyakini manusia itu bisa jadi adalah kebenaran semu, yang diciptakannya sendiri.

Ada pemahaman, terminologi kemenangan diri adalah kemampuan penguasaan seseorang terhadap manusia maupun sumber daya lain, yang dapat dioptimalisasikan bagi kebutuhan dan kepentingannya secara egois. Sebab itu, lahir kecenderungan, orang yang berkuasa berhak menafsirkan serta memonopoli kebenaran terhadap orang lain. Dan, dengan acuan pemikiran semacam ini, segala tindakan maupun kebijakan yang dinilainya berada di luar koridor tafsirannya, senantiasa divonis salah.
Nilai kebenaran semacam itu, kemudian dianggap sebagai nilai-nilai normatif baru. Alat ukur terhadap kebenaran-kebenaran yang lain. Meski sebenarnya sikap itu merupakan sebuah hegemoni kekuasaan, yang dapat diklasifikasikan sebagai sikap otoriter. Padahal seharusnya, kemenangan pribadi ditandai dengan terwujudnya kemenangan publik. Kemenangan semua orang, kemerdekaan semua orang, berarti tidak ada yang merasa ditindas!

Tidak ada komentar: