Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Minggu, 01 November 2009

Iman Itu Mendahului Pengetahuan

Seperti pertanyaan mengenai, lebih dulu mana antara ayam dan telur, maka pertanyaannya sekarang adalah, lebih dulu mana antara iman dan pengetahuan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, memang tidak mudah. Paling tidak terlebih dulu perlu dipahami tentang pengertian “iman” dan “pengetahuan”.

Dan, sebagaimana telah dipahami, memberikan batasan tentang “iman” maupun “pengetahuan”, selalu menghadirkan perdebatan. Sulit mempersatukan orang untuk setuju dalam sebuah pengertian atau batasan tentang sesuatu. Apa pun itu. Sebab itulah dalam tulisan ini, Penulis tak bermaksud memaksakan diri bahwa pengertian yang dibangun dalam tulisan adalah sebuah kebenaran yang mutlak. Pasti benar! Tapi, masih ada dan selalu menyisakan ruangan untuk dialog.

Iman seringkali dipahami sebagai keyakinan. Keyakinan itu selalu diarahkan kepada keyakinan terhadap Tuhan. Kemudian lahir pemahaman, bahwa setiap makhluk hidup yang beriman kepada Tuhan, pasti masuk surga. Banyak risalah-risalah agama, dari agama apa pun, memberitakan bahwa surga itu milik orang-orang beriman. Sedangkan orang yang tidak beriman, pasti masuk neraka. Benarkah demikian?

Apa yang terbangun dalam pikiran, ketika kita mencermati kejadian dalam proses penciptaan Adam, sebagaimana diceritakan Al Quran (Q.S. Al Baqarah: 34)? Firman Allah: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah (baca: menghormati dan memuliakan) kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. Pada saat itu, baik Adam, para malaikat, serta iblis, sama-sama berada dalam majelis dialog di hadapan Allah. Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa jika “iman” semata dimaknai “yakin”, tentunya iblis juga bakal masuk surga. Sebab dalam konteks dialog tersebut, ketiga makhluk ciptaan itu sama-sama mengimani terhadap eksistensi Allah.

Lalu, “iman” itu apa? Al Quran memberikan tafsiran sendiri tentang “iman”. Dikatakan oleh Al Quran, iman itu bagian dari takwa. Mari kita simak firman Allah berikut ini: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Q.S. Al Baqarah: 34).

Karena iman bagian dari takwa, maka dapat dikatakan tidak beriman bagi orang-orang yang tidak bertakwa. Dan, tidak bertakwa bagi orang-orang yang tidak memiliki iman. Jadi, “iman” bukan sekadar “keyakinan” semata. Konsekwensinya, siapa pun –dari agama apa pun– yang menyatakan dirinya telah beriman kepada Allah, maka telah wajib pada dirinya untuk mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki dari Allah untuk kepentingan orang lain atau disedekahkan. Maka, orang yang tidak shalat dan pelit dalam bersedekah, dapat disebut sebagai orang yang tidak memiliki iman.

Sedangkan “pengetahuan”, adalah kepahaman seseorang terhadap sesuatu. Orang paham itu belum tentu memiliki ilmunya. Contohnya, seseorang yang belum bisa berenang belajar buku tentang teknik-teknik berenang. Ia habiskan ribuan buku. Bahkan dirinya merupakan komentator ulung ketika dimintai pendapatnya mengenai kualitas seorang perenang yang kalah dalam suatu kejuaraan. Tapi, ketika ia diceburkan ke kolam renang, mungkin ia akan menemui ajalnya karena tidak mampu berenang. Ia baru sebatas memahami ilmu berenang, tapi belum memiliki ilmu berenang.

Mana yang lebih baik, “beriman” dulu atau “berpengetahuan” dulu? Lebih baik “beriman” dulu! Sebab hal itu akan memudahkan perputaran hidup. Jika dipilih “berpengetahuan” dulu baru “beriman”, seseorang akan banyak menemui kesulitan hidup. Ambil contoh, Anda ingin bepergian ke suatu tempat yang mengharuskan menggunakan transportasi busway, misalnya. Sebab Anda butuh “pengetahuan” dulu baru “beriman”, tentunya Anda akan menanyakan kepada sang sopir: “Pak, apakah kondisi bus ini sudah baik. Mesinnya? Remnya?”.

Ketika dijawab si sopir: “Sudah, Pak” Maka, Anda tentu akan melakukan pengecekan terhadap kondisi mesin dan remnya bus –meski Anda bukan ahli mesin mobil– guna memperoleh “pengetahuan” sebelum Anda “iman” bahwa mesin dan rem bus itu bakal aman-aman saja ketika dikendarai. Butuh waktu berapa lama untuk memperoleh “pengetahuan” semacam itu, dan bagaimana pula dengan penumpang yang lain?

Sebaliknya, kalau Anda “beriman” dulu baru “berpengetahuan”, akan lebih mudah. Karena begitu sang sopir menjawab kondisi mesin dan rem bus itu sudah baik, Anda akan langsung duduk. Dan segera sampai ketujuan. Tentang “pengetahuan” mesin dan rem mobil, hal itu dapat dipelajari pada waktu lain. Karena betapa susahnya kalau setiap akan naik kendaraan kita mesti merasa perlu memperoleh “pengetahuan” terlebih dulu.

Demikian pulalah, dalam beragama. Beriman dulu, baru berpengetahuan. Tapi, apakah tidak boleh dalam beragama, “berpengetahuan” dulu baru “beriman”? Tidak dilarang memang, tapi berbahaya. Seseorang yang ingin melanglang buana dalam rimba raya ketauhidan harus memiliki ilmu yang mencukupi. Jangan sampai peristiwa yang dialami ilmuwan besar abad 21, Albert Einstein, menimpa diri. Mati dalam keadaan kafir. Ia bila pagi belajar memahami agama Katholik dan kalau sore belajar memahami agama Yahudi, namun pada akhirnya tidak memilih agama Katholik atau Yahudi. Ia mengaku memiliki “agama ketiga” yang berkembang menurut jalan pikirannya, sampai ajal menjemputnya (Wisnu Arya Wardhana-2008).

Adanya “agama ketiga” yang berkembang menurut jalan pikiran inilah yang berbahaya. Jika kita sudah memeluk agama bertauhid. Yakni meng-Esa-kan Tuhan dengan sebenar-benarnya. Maka, cukuplah keimanan itu kita pegang erat-erat, jangan ditukar dengan apa pun di dunia ini, kecuali dengan kematian dalam keridlaan Allah. Ketahuilah, semua agama di dunia ini 99,9 (sembilan puluh sembilan koma sembilan) persen sama baiknya. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan keburukan. Tapi agama yang murni mengajarkan ketauhidan, hanya Islam. Karena dalam Islam tidak ada ajaran personifikasi Tuhan dengan makhluk apa pun. Sebab itu, jemputlah kematian dalam keadaan beragama Islam. Amin.

Tidak ada komentar: