Imam al Ghazali mengutip pendapat Saydina Ali mengatakan, bila ada orang yang tidak berilmu dan ia memahami bahwa dirinya tidak berilmu, maka itulah orang bodoh, ajarilah dia. Dan, jika ada orang yang tidak berilmu dan ia tidak menyadari bahwa dirinya tidak berilmu, maka itulah dungu. Jauhilah dia, karena kedunguan itu bisa menularimu.
Coba bayangkan. Bayangkan saja! Saat ini Republik ini masih dibelenggu keterbatasan anggaran. Per tahun Pemerintah harus membayar cicilan hutang –yang sudah mendekati Rp 1.700 triliun– sebesar Rp 100 triliun. Tapi, dengan beban pembayaran hutang sebesar itu, DPR kita malah bakal membebaninya dengan biaya pembangunan gedung baru DPR berlantai 36 dengan fasilitas supramewah, sebesar Rp 1,8 triliun.
Jika seluruh biaya itu ditanggung dari kantong mereka (baca: anggota DPR) sendiri, misalnya dari hasil urunan upah mereka menjadi “jongos” rakyat melalui pemilu, silakan. Tapi tampaknya, dana sebesar itu bakal dibebankan pada APBN, yang keseluruhannya merupakan uang rakyat. Ya, uang rakyat, bukan harta warisan nenek moyang para wakil rakyat itu. Tapi, mengapa mereka tidak tahu malu!
Baca pernyataan Ketua DPR sekaligus Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Marzuki Ali, pembangunan gedung baru itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilanjutkan. Kalau ada kritik, kita terima saja (Kompas, 3/9/2010). Menyikapi hal itu, Mochtar Pabottingi, menulis dengan hati-hati –agar tidak terkena pidana sebagaimana kasus Prita Mulyasari– mengatakan, dalam kehendak untuk memaksakan pembangunan itu, terpancar sikap dan laku yang bertentangan dengan yang semestinya ditunjukan para legislator.
Melawan Tuhannya
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Semula saya tidak menyetujui pernyataan itu, karena kebenaran tidak dapat digantungkan pada suara mayoritas. Tapi akhirnya saya memahami, dalam konteks lembaga perwakilan seperti DPR, para anggota DPR-RI hakikatnya adalah “jongos” dari seluruh warga Indonesia. Rakyat Indonesia adalah Tuan Besar wakil rakyat. Juragan wakil rakyat. Majikan wakil rakyat. Dan, “jongos” tidak pantas berbuat seenak udelnya.
Dalam Kitab Al Hikam karangan Syech Ahmad Ataillah diterangkan, mengapa Nabi Muhammad Saw disebut abdihi wa rasulli. Sebab, meski dirinya dinyatakan oleh Allah sebagai Rasul, namun hakikatnya dirinya hanyalah seorang hamba. Sifat seorang hamba yang berkedudukan sebagai Rasul sudah tentu wajib menjaga amanat “Tuannya”. Melaksanakan perintah tanpa membantah, apalagi melawan. Sami’na wa ato’na (dengarkan perintahnya dan laksanakan tanpa argumentasi apa pun).
Karena itu, bila kita bersepakar bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka anggota DPR yang bersikap memaksakan kehendak, tanpa memperhatikan Tuhannya (baca: rakyat Indonesia), dapat divonis telah berbuat kekafiran. Meski mereka itu tekun beribadah baik ke masjid, gereja, pura, maupun ke klenteng, tapi hakikatnya yang mereka sembah adalah nafsu syahwatnya, kerakusannya, termasuk gila hormatnya. Itulah perilaku orang dungu. Na’udzubillahi min dzalik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar