Kegagalan berkebalikan dengan keberhasilan. Apa makna kegagalan? Jawaban paling sederhana adalah ketidakberhasilan. Tidak berhasil berarti pula tidak tercapainya target yang telah ditetapkan. Karena adanya target untuk dapat dipakai sebagai pengukur suatu keberhasilan. Maka dari itu selalu ada kriteria-kriteria sebagai parameter guna menentukan, apakah suatu target telah tercapai atau belum tercapai. Dari logika ini dapatlah ditarik suatu pengertian, kegagalan adalah tidak tercapainya target yang telah ditetapkan. Itu berarti, ketiadaan target akan meniadakan pula kegagalan. Maksudnya, tidaklah dapat seseorang itu dinyatakan gagal tentang sesuatu bilamana seseorang tersebut tidak memiliki target yang diharapkan.
Untuk mencapai keberhasilan seseorang membutuhkan manajemen, atau tatanan tindakan sebagai langkah-langkah strategik agar target yang diharapkan tersebut tercapai. Dengan demikian manajemen bagi seseorang yang memiliki target sasaran menjadi sangat urgen. Itu berarti kemampuan di bidang manajemen tidak dapat lagi dipandang sebagai kebutuhan nomor dua, lebih dari itu ketrampilan ini justru menempati prioritas utama bagi setiap sosok manusia yang ingin berhasil. Singkatnya, dalam kerangka mencapai suatu keberhasilan, disyaratkan adanya ketrampilan manajemen yang sesuai dengan target sasaran atau gol yang diharapkan. Tidak terpenuhinya persyaratan yang disebut terakhir ini, dapat dipastikan bakal mengakibatkan kegagalan.
Hal terpenting dalam upaya mencapai target atau gol yang telah ditetapkan adalah tersedianya “modal usaha” yang dimiliki. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang cukup, berkenaan dengan sesuatu yang diharapkannya itu. Dapat diibaratkan, adalah suatu kemustahilan seseorang menginginkan memproduksi sepasang sepatu, padahal yang bersangkutan sama sekali tidak pernah belajar membuat sepatu. Atau, apa jadinya andai seseorang dibebani kewajiban menata laporan pembukuan/akuntansi, padahal orang yang bersangkutan berkemampuan di bidang hukum. Kenyataan ini menunjukkan bahwasanya bidang keilmuan itu memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tertentukan sifatnya. Itulah yang disebut dengan keahlian-keahlian (expert).
Berangkat dari uraian di atas dapat ditarik suatu konklusi, bahwa keberhasilan maupun kegagalan seseorang pada dasarnya dilatarbelakangi masalah kemampuan di bidang ilmu pengetahuan. Itu berarti, ilmu pengetahuan dapat disebut sebagai kausa utama yang menempati prioritas pertama dalam sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidup. Berikut ini ada nasihat menarik dari seorang bijak, Imam Syafi’i berkata: “Barang siapa manusia yang menginginkan kehidupan dunia, maka haruslah ia memiliki ilmu. Dan, barang siapa manusia yang menginginkan kehidupan akhirat, maka wajiblah ia memiliki ilmu. Dan, barangsiapa manusia mengharapkan kedua-duanya (dunia dan akhirat), maka ia pun harus memiliki ilmu”.
Yang patut dipahami, kegagalan yang seringkali diterjemahkan sebagai wujud musibah, ternyata dalam wujudnya tidak sebagai peristiwa tunggal. Disebabkan adanya kegagalan, maka pada diri manusia yang tertimpa kegagalan itu dapat tertimpa pula bentuk-bentuk kegagalan-kegagalan yang lain sebagai efek domino. Dengan kata lain, dikarenakan adanya kegagalan timbullah masalah-masalah lain yang membutuhkan penyelesaian. Bilamana situasi yang membutuhkan penyelesaian tersebut ternyata mengalami hambatan-hambatan dalam upayanya mencari solusi, maka muncullah frustasi. Yakni, situasi terhambat pada kejiwaan seseorang dalam upayanya untuk pemuasan kebutuhan personal maupun karena tuntutan lingkungan.
Menurut kalangan psikolog, wujud hambatan yang muncul pada diri seseorang yang menghalangi upayanya menemukan solusi dapat disebabkan oleh:
1. Hambatan internal, seperti misalnya keterbatasan pengetahuan, keterbatasan tingkat kemampuan intelektualitas, atau karena kebodohan;
2. Hambatan eksternal, seperti misalnya adanya ketentuan disiplin, aturan-aturan normatif kemasyarakatan, atau pembatasan-pembatasan atas perilaku sosial lainnya;
Dalam menghadapi situasi frustasi, setiap manusia memiliki batas toleransi yang dapat menimbulkan frustasi. Yakni, sebagai batas ambang intensitas kondisi frustasi yang dapat diatasi, tanpa menyertakan gangguan fungsi kepribadian atau mental. Batas ambang frustasi seseorang berkait erat dengan aspek kepribadian yang perkembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain keturunan, lingkungan sosial dan pergaulan, serta watak dasar yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Menyangkut perihal yang terakhir ini, seperti telah disinggung terdahulu, seseorang itu tidak dapat dilepaskan dari tingkat penguasaan “jagat ageng” maupun “jagat alit”.
Lingkaran aspek kepribadian manusia selalu bergerak dalam dinamika kehidupannya. Di dalam mereaksi hambatan-hambatan yang timbul, masing-masing manusia memiliki pola yang berbeda meski secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) katagori, yaitu dengan mengedepankan fungsi kepribadian atau mental (non-fisik), sehingga lebih bersikap bertahan. Atau, dengan mengandalkan fungsi fisik, misalnya melalui cara melakukan perlawanan dengan menyerang hambatan-hambatan itu. Secara garis besar dinamika interaksi sebagai respons seseorang terhadap kondisi frustasi dapat dibagi menjadi 4 (empat) katagori, sebagai berikut:
1. Frustasi Depresi, adalah reaksi yang ditandai dengan kemurungan, kesedihan berkelanjutan, yang dapat mendorong terjadinya tindakan bunuh diri (tentamina suicidum);
2. Frustasi Apati, adalah reaksi yang ditandai dengan sikap masa bodoh, acuh tak acuh, maupun aksi sikap tutup mulut, yang merupakan refleksi dari sikap keras hati.
3. Frustasi Regresi, adalah reaksi yang ditandai dengan perilaku yang beranggapan seolah-olah dirinya masih berada dalam masa perkembangan jiwa saat pertumbuhannya dulu. Sebab itu perilakunya cenderung kekanak-kanakan serta selalu ingin menang sendiri, sehingga sulit diajak kompromi.
4. Frustasi Agresi, adalah reaksi yang ditandai dengan perilaku yang cenderung menyerang hambatan yang ditemui, baik secara fisik maupun verbal, misalnya dengan cara memaki-maki atau berteriak-teriak.
Sebenarnya, di dalam kehidupan ini tidak ada masalah. Sebab bila ditelusuri secara hakekat dari permasalahannya, ternyata hal itu bukan problema. Masalah menjadi sebuah problem bagi manusia yang bersangkutan ketika manusia itu dengan akal pikir dan nafsunya melihat permasalahannya semata dalam sudut kepentingan dan egonya. Sama sekali atau bahkan tidak mempertimbangan kepentingan orang lain. Kebanyakan manusia memang tidak pernah berpikir tentang kebutuhan/kepentingan orang lain. Kalau pun tampaknya perbuatan atau tindakannya itu seolah demi kepentingan orang lain, atau kepentingan pihak lain karena adanya pertalian darah seperti hubungan orang tua dan anak, hubungan karena suami-istri, atau hubungan karena teman baik, namun kesemuanya itu pada akhirnya tetap kembali demi kepentingannya secara pribadi. Paling tidak, demi kebaikan dirinya di mata Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar