Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Sabtu, 08 Januari 2011

Berkuasa 20 Tahun: Rezim NH Cs. Saatnya Lengser

Dua puluh tahun lampau, ketika Penulis masih aktif sebagai jurnalis, Nurdin Halid (selanjutnya, disebut NH) beserta konco-konconya baru terpilih menjadi punggawa Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Suatu masa berkuasa yang cukup lama, hampir menyamai rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Kesamaan di antara keduanya adalah, sama-sama tidak transparan dalam penggunaan anggaran.


Seolah tak ingin melihat dinamika yang tengah berlangsung di negeri ini, NH Cs. tampaknya tetap ingin terus berkuasa. Upaya penggulingan berbagai pihak tatkala NH dipenjara pun gagal. Sementara pemerintahan Orde Reformasi yang berkuasa tak memiliki power untuk ikut campur dalam rumah persatuan sepakbola nasional itu. Bisa ditebak, rezim NH Cs. semakin kuat menancapkan kuku-kuku kekuasaannya, terasa semakin tak tahu diri. 

Sebagai pemegang otoritas tunggal PSSI, NH Cs. benar-benar diktator yang totaliter sekaligus sentralistik. Banyak keputusan Komisi Disiplin (Komdis) PSSI yang kontroversial dan dianggap tak adil, namun tak dapat dilawan oleh klub-klub sepakbola di Indonesia yang menerima sanksi. Keputusan-keputusan itu tidak hanya terasa janggal, tapi juga berbau atau adanya dugaan praktik suap. Seorang mantan pengurus PSSI, seperti diberitakan Tv-One (08/1), mengakui bahwa pengelolaan keuangan PSSI memang tidak transparan.

Momen Tepat
Kelahiran Liga Primer Indonesia (LPI) yang dimotori pengusaha Arifin Panigoro, yang pertandingan perdananya dimulai di Solo antara Solo FC versus Persema, kemarin (08/1), diikuti oleh 19 klub sepakbola nasional. Persetujuan Badan Olah Profesional Indonesia (BOPI) setelah Menpora memberikan greenlight, menjadi pukulan telak bagi PSSI yang selama ini mendominasi persepakbolaan Republik ini. 

Liga Super Indonesia (LSI) yang digelar PSSI dengan sponsor tunggal perusahaan rokok itu, kini harus berpikir keras untuk mempertahankan supremasinya sebagai penguasa tunggal. Kengototan pengurus PSSI yang melaporkan kiprah LPI ke kepolisian agar tak mengeluarkan izin penyelengaraan keramaian, memperkuat adanya dugaan “kepentingan” tersembunyi yang dipertahankan. Bisa jadi ada “titipan” dari sponsor tunggal yang ingin tidak menderita kerugian.

Semua orang sudah mahfum, pada setiap sekali even pertandingan sepakbola dalam laga LSI, pemasukan PSSI tidak semata bersumber dari sponsor tunggal, tapi juga sponsor-sponsor lainnya yang terpampang di sekitar lapangan pertandingan. Belum dihitung perolehan dari penjualan hak penyiaran tunggal melalui televisi beserta sponsor-sponsor ikutannya. Dan yang tak dapat diabaikan adalah pundi-pundi rupiah yang diperoleh dari pembagian keuntungan pada setiap sesi pertandingan.

Penulis sendiri sangat apresiatif dengan kelahiran LPI. Alasannya, sebagaimana liga-liga yang dipertandingkan di kawasan Eropa, keberadaan LPI bakal memperbaiki performance persepakbolaan nasional yang senantiasa dirundung kemalangan. Bisa jadi, klub yang menjadi juara di LSI dipertandingkan melawan juara LPI. Sehingga di antara kedua liga persepakbolaan tersebut terjadi kompetisi yang sehat, dan tentu saja fair play.

Lebih jauh, bilamana kediktatoran Komdis PSSI dalam menjatuhkan sanksi terhadap klub-klub sepakbola nasional masih terus berlangsung, bisa jadi LSI bakal ditinggalkan. Dengan kalimat lain, kelahiran LPI secara tak langsung akan memperbaiki manajemen PSSI sekaligus iklim persepakbolaan di Indonesia. Meski patut diakui pula, gagasan Arifin Panigoro menelorkan LPI tidak dapat dilepaskan dari usaha “perebutan” pundi-pundi rupiah, setelah melihat antusiasme masyarakat Indonesia terhadap perkembangan persepakbolaan nasional seperti diperlihatkan dalam kejuaraan AFF 2010 kemarin. Salam olahraga!

Tidak ada komentar: