Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Senin, 12 April 2010

Kehendak Bebas Manusia Vs Kuasa Allah

Yang terpenting dari keseluruhan prinsip bagi pribadi sukses adalah bersikap religiusisme dalam setiap tindakannya. Bersikap religiusisme akan mendorong sosok manusia itu untuk senantiasa berpikir, apa pun yang dilakukan masih berada di dalam koridor kuasa Tuhan. Dengan begitu pada setiap tindakan dan keputusannya akan selalu memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, serta mempertimbangkan rasa keadilan.


Manusia semacam itu sudah tentu bakal menolak segala pikiran negatif, apalagi tentang niatan-niatan untuk memperkosa hak-hak manusia lain dengan dalih apa pun. Sikap yang demikian ini tidak lagi melihat ajaran-ajaran agama sebagai persoalan ritualitas semata, atau hanya sebagai masalah pribadi yang sama sekali tidak memiliki dampak sosial.

Dalam kisah perang dunia kedua, Panglima pasukan sekutu, Dwight Eisenhower menjelaskan kesiapannya dalam suatu pendaratan untuk menyerangan ke Normandia terhadap tentara Nazi Jerman di Eropa mengatakan kepada seluruh prajuritnya, bahwa kesiapannya untuk berperang dan mengalahkan musuh sudah diperhitungkan secara matang. Tingkat kesiapan dan kemenangan pasukannya pada serbuan esok harinya sudah mencapai nilai 99 persen. Yang satu persen berikutnya, guna mencapai kemenangan seratus persen sempurna adalah tergantung kehendak Tuhan.

Dengan kata lain, setiap usaha apa pun yang menurut ukuran manusia sudah memiliki kesiapan yang nyaris sempurna, belum dapat dinyatakan memiliki tingkat keberhasilan seratus persen bahwa usahanya itu pasti berhasil dan sukses. Setiap orang di jagat ini tentu masih mengingatnya, bagaimana sebuah maha karya yang ditangani oleh banyak ahli di bidangnya, yakni pesawat ulang alik Discovery milik Amerika Serikat (AS), ternyata hancur berantakan di udara beberapa saat setelah lepas landas.

Memang tak dapat dipungkiri tentang adanya sebagian manusia yang tidak mempercayai perihal takdir atau kehendak Allah, dan ada sebagian lain yang mengimaninya. Bagi kelompok yang pertama, meyakini manusia itu bebas atau independen di dalam menjalani kehidupannya. Apa yang terjadi bagi dirinya, baik atau buruk, semata adalah akibat dari perbuatannya. Sedangkan bagi kelompok yang kedua berpendapat, memang pada dasarnya manusia itu bebas berkehendak apa pun bagi kehidupannya.

Namun demikian dalam mengarungi kehidupannya, kehendak bebas manusia tersebut masih berada di bawah kuasa Allah. Dengan demikian secara hakikat dalam setiap usahanya, manusia sebenarnya hanya sekadar merangkai suatu tahapan usaha-usaha atau upaya-upaya dengan dasar keilmuan, yang seringkali disebut sebagai suatu bentuk ikhtiar. Selanjutnya, dipasrahkan kepada takdir atau kehendak Ilahi.

Tentang apa yang disebut tindakan berikhtiar itu tidaklah dapat dipahami sebagai suatu formalitas perbuatan semata, yakni hanyalah sekadar wujud tindakan permulaan sebagai suatu usaha manusia dalam upaya menggapai keberhasilan. Lebih dari itu haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang wajar, yang menurut aturan logika memang harus dipenuhi. Untuk lebih jelasnya, suatu tindakan ikhtiar oleh manusia haruslah memenuhi prinsip-prinsip seperti diuraikan sebagai berikut:

1. Memenuhi unsur keilmuannya, yakni bahwa apa yang diusahakannya itu telah sesuai dengan ilmunya. Misalnya, bagi seorang guru agama dia paham ilmu agama, bagi seorang manajer dia menguasai ilmu manajerial, bagi seorang pengacara dia memahami ilmu hukum, demikianlah seterusnya.

2. Memenuhi tahapan teknisnya, adalah mengenai apa yang tengah dilakukan manusia guna mencapai keberhasilannya, telah melaksanakannya sesuai petunjuk teknis yang benar. Ibaratnya, bagi seseorang yang menginginkan mendapatkan SIM (Surat Izin Mengemudi), maka wajib baginya mendaftarkan diri, mengisi formulir, dan sebagainya, dan seterusnya.

3. Memenuhi unsur subyeknya maupun obyeknya, yaitu meliputi kebenaran subyek yang tengah berikhtiar, sekaligus kebenaran obyek yang diiktiarkannya. Sebab, adalah sebuah kemustahilan untuk dicapai keberhasilannya bilamana subyek yang berikhtiar adalah seorang ahli bidang akuntasi, yang mengharapkan keberhasilan sempurna ketika membuat sepatu. Atau, seorang pakar teknologi nuklir yang bersusah payah berusaha menyembuhkan penyakit diare!

Ada satire menarik untuk disimak, bahwa sebuah perahu berkapasitas satu orang tetap saja akan tenggelam bilamana diisi dengan sepuluh orang, meski kesepuluh orang itu adalah pendeta atau kyai yang senantiasa berdoa kepada Tuhan.

4. Sesuai dengan norma agama, yakni ikhtiar itu dilatarbelakangi oleh sebab yang halal. Maka, bilamana ikhtiar yang dimaksudkan tersebut adalah mengenai sebab yang diharamkan atau dilarang, maka keberhasilannya itu merupakan buah dari dosa. Yang tentu saja, haram pula untuk dinikmati oleh sekalian umat manusia.

Adanya keyakinan orang yang semata-mata menggantungkan hidupnya kepada takdir, tentunya yang demikian ini dapatlah disebut sebagai orang bodoh. Orang yang pikirannya jumud atau terbelenggu.

Rasulullah Muhammad sendiri pernah marah ketika berdialog dengan sahabatnya sebagai berikut:
“Rasulullah berkata: “Alangkah baiknya kalau kamu bangun dari sebagian waktu malam (untuk bersembayang sunnat)”. Ali r.a. menjawab: ‘Ya, Rasulullah, diri kita semua ini adalah dalam genggaman kekuasaan Allah. Jika Tuhan menghendakinya tentu dilimpahkan kerahmatan-Nya, dan jikalau Tuhan menghendaki (yang sebaliknya) tentu ditariknya kembali”.

Mendengar jawabannya itu, Rasulullah marah tampaknya. Beliau lalu keluar sambil memukul-mukul pahanya dan bersabda: “Sungguh-sungguh manusia itu amat banyak sekali membantahnya” (Sayid Sabiq, Al-Aqaid Al-Islamiyyah, Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, 1974)

Perhatikan pula nasihat berikut ini:
Dari sahabat Jabir r.a, Rasulallah bersabda: “Pada akhir zaman nanti akan ada suatu golongan yang berbuat kemaksiatan, kemudian mereka berkata: “Allah menakdirkan perbuatan itu kita lakukan”. Orang yang menentang pendapat mereka (yang salah) pada zaman itu adalah bagaikan orang yang menghunus pedang fi sabilillah”.

Dari uraian di atas, tentunya dapat ditarik suatu pemahaman bahwa berpikir religiusisme tidaklah berarti memaknai takdir secara membabi buta. Takdir harus diartikan dengan cerdas, yaitu kecerdasan spiritual. Mengutip pendapat Khalil A. Khavari, penulis buku Spiritual Intelligence, Practical Guide to Personal Happines berpendapat, kecerdasan spiritual merupakan kunci atau penuntun untuk meraih kebahagiaan.

Adanya realitas ketidakbahagiaan hidup yang hadir dan menimpa kehidupan manusia seperti, marah, stress, frustasi, dan sebagainya itu, telah menimbulkan problema psikologi-eksistensial-spiritual, dapat diobati dengan apa yang disebut anti-anxieties atau anti-kegelisahan, yakni doa. Tentang kebahagiaan manusia, katanya lagi, hal itu tidak dapat diukur hanya dari faktor kekayaan (uang), kesuksesan, kepuasan dalam bekerja, maupun kehidupan seks. Namun, justru diukur dari hal yang paling dasar atau esensial yang ada dalam diri manusia, yakni spiritual.

Dengan berpikir religiusisme manusia memiliki garis panutan agar tidak terfragmentasi dari sistem kehidupan modernitas yang seringkali menjebak manusia ke dalam wilayah dehumanisasi, teralienasi, atau bahkan anti-sosial. Sebenarnya, manusia diyakini memiliki kesadaran pusat diri, yang bilamana dikelola dan dikembangkan secara benar akan menjadi potensi bagi produktivitas serta kreativitas dalam mewarnai kehidupannya.

Dimensi kesadaran pusat diri yang berkembang secara benar akan mampu membentuk manusia memiliki sikap-sikap pemberani, percaya diri, dan berani mengambil risiko, di samping teguh pendiriannya. Itulah sebabnya, berpikir sukses bagi manusia yang mencita-cita keberhasilan hidup di dunia ini berarti bersikap seimbang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik secara psikologi, fisiologi, dan sosiologi. Dan itu manusiawi. Semoga!

Tidak ada komentar: