Life is Simple, Problem is Not

SELAMAT DATANG

Senin, 04 Januari 2010

Andai Binatang Bertuhan

Saat Aristoteles menyebutkan istilah zoon politicon untuk spesies yang disebut manusia, filosof itu memiliki pemahaman tentang adanya persamaan dan perbedaan antara manusia dengan binatang. Sebab itu, andai perbedaan tersebut dihilangkan, maka antara manusia dan binatang tidak ada perbedaan sama sekali. Dengan kata lain, membicarakan sosok manusia tak ubahnya dengan membicarakan binatang. Binatang apa pun itu, mulai dari yang wujudnya indah hingga yang menakutkan.

Dan, terlepas dari keindahan dan keburukan wujud itu, antara manusia dan binatang memiliki organ tubuh dan kebutuhan yang nyaris sama. Antara lain, memiliki alat reproduksi untuk mempertahankan kelangsungan keturunan, sebab itu ia berhubungan seksual. Lalu, memiliki panca indera, bermanfaat untuk memburu makanan-minuman agar dapat bertahan hidup sesuai kodratnya. Termasuk pula untuk mencari tempat perlindungan, baik untuk kebutuhan “rumah tangganya” maupun bersembunyi dari binatang lain yang suka memangsanya.

Antara manusia dan binatang juga mengalami siklus kehidupan sama. Yakni, dimulai dari kelahiran di planet bumi –sejauh ini belum ditemukan di planet lain–, kemudian tumbuh dewasa, dan berakhir dengan kematian. Dalam tataran pemahaman seperti ini, agaknya kita dapat memahami bila saat terjadi pertengkaran antar-manusia, kadangkala ada caci maki yang mengklasifikasikan lawannya sebagai binatang. Dasar anjing kau! Dasar monyer kau! Atau, dasar buaya kau!

Ketika caci maki semacam itu terlontar, dalam benak orang tersebut tentu sudah tergambarkan adanya persamaan perilaku, antara orang yang dicaci maki dengan dengan nama binatang yang diteriakannya. Bahkan menurut ia, persamaan itu begitu dekat, meski dalam bentuk tampilan fisik berbeda sama sekali. Pada titik inilah dapat dipahami bahwa penilaian atas diri manusia itu tidak tergantung pada gambar yang terlihat, tapi lebih pada wujud non-fisik. Orang modern menyebut inner beauty.

Yang Membedakan
Dari sekian perbedaan yang ada antara manusia dan binatang, salah satunya adalah tentang jiwa bertuhan. Yakni adanya keyakinan bahwa di luar dirinya terdapat “wujud” yang lebih berkuasa. Wujud itu maha kuasa. Karena wujud itu tidak semata menciptakan dirinya, tapi juga menciptakan seluruh jagat raya beserta segala ragam ikutannya. Akal pikir manusia –menurut kalangan filosof– telah “berkhayal” untuk mencari sesuatu yang menjadi sebab (causa), bagaimana mahkluk tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo).

Dalam alam kreatifitasnya itu manusia kemudian menggambarkan bahwa “wujud” itu adalah dewa-dewa. Pada zaman Yunani, masyarakat mengenal banyak dewa, yang diwujudkan dalam gambaran manusia. Para dewa itu pun hidup layaknya manusia, seperti makan-minum, beranak, dan mati. Banyak filosof waktu itu yang mencemooh keyakinan semacam itu. Salah satunya adalah Xenophanes. Filosof klasik ini menabrak mitos yang berisi keyakinan tentang bersatunya jasad manusia dengan “wujud” itu (antropomorfisme atau wihdatul wujud) tersebut.

Keyakinan Xenophanes ini kemudian menjadi pemahaman dasar bagi filosof-filosof berikutnya, dalam langkah pengembaraannya di dunia filsafat. Ia mengatakan, sebenarnya manusia sendirilah yang mengada-adakan dewa itu. Melukiskannya seperti wujud dan bentuk mereka. Maka, andai sapi, singa, dan kuda bisa melukis –serta memiliki keyakinan yang sama dengan manusia– tentu binatang itu akan melukiskan dewa-dewa mereka seperti bentuk binatang pula, yakni sapi, singa, atau kuda.

Berpijak dari pendapat itulah dapat ditarik kesimpulan bahwa wujud tuhan yang patut disembah tentulah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah. Dialah satu-satunya tempat bergantung bagi seluruh makhluk ciptaan di alam semesta ini. Dia juga tidak beranak atau pun diperanakkan –layaknya manusia maupun binatang–, dan pula tidak mungkin wujudnya sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Menurut Parmenides, wujud itu memiliki keharusan dalam sebagai wujud yang azali, yang tidak berubah-ubah dan tidak hancur.

Ketika membahas tentang asal-muasal keseluruhan dari alam semesta beserta segala ragam isinya, filosof Yunani ini menegaskan, bahwa segala apa yang berada di luar wujud adalah bukan wujud. Semua yang berubah dan mengalami kehancuran hanya sebagai gejala atau penampakan (apparences). Jika perubahan mengharuskan berkumpulnya wujud dan non-wujud, hal itu mustahil. Sebab wujud adalah abadi.

Murid Parmenides, Milissus melengkapi pendapat gurunya itu dengan mengatakan, bahwa wujud itu azali, abadi, dan tidak berakhir, tidak pula bergerak, serta memiliki “kehidupan yang berakal”. Setiap yang baru pasti ada permulaannya. Sedangkan zat yang wujud tidaklah baru. Sebab seandainya baru, tentu berasal dari zat yang bukan wujud.

Ia juga menjelaskan, yang wujud tidak ada permulaannya. Dan, apa yang tidak ada permulaannya, berarti tidak ada pula akhirnya. Karena wujud itu tidak berakhir, berarti tidak bergerak menuju suatu tempat. Wujud tidak berubah-ubah, karena kalau berubah-ubah, berarti wujud itu menjadi lebih dari satu. Kesimpulannya, wujud itu adalah esa, azali, abadi, hidup, berakal, dan tidak berubah-ubah (Syaik Nadim Al Jirs, tanpa tahun penerbitan).

Kini kita mengtahui, mengapa tatkala menulis nama Tuhan, kita menggunakan huruf besar pada awalnya –bukan tuhan–. Bahkan kita sering menambahi dengan kata “Yang Maha” sebelum menuliskan sifat lainnya. Dua frase yang disebut terakhir ini memiliki makna ketidakterhinggaan atas segalanya. Selain itu di luar diri-Nya (baca: semua makhluk ciptaan) memiliki sifat terbatas, terikat ruang dan waktu, serta fana (mengalami kematian dan punah). Kedua sifat itu niscaya tidak dapat berpadu atau dipadukan, kecuali dalam alam khayali manusia.

Pemilik sifat “Yang Maha” tentu memiliki wujud. Sebab tanpa wujud “Yang Maha” itu menjadi bertentangan dengan logika. Karena akan merusak makna serta sifat ketidakterhinggaannya. Berarti wujud itu wajib ada. Itulah yang disebut dengan wajibul wujud. Dengan kata lain, ketiadaan “Yang Maha” itu adalah tidak mungkin sekaligus melawan sudut rasionalitas. Logikanya seperti ini, bila ketiadaan sesuatu itu tidak menimbulkan kemustahilan bagi akal, maka sesuatu itu mungkin ada. Dan, bila ketiadaan sesuatu itu menimbulkan kemustahilan bagi akal, berarti sesuatu itu wajib ada. Walllahu ‘alam bishawwab.

Tidak ada komentar: